Sudah
dua tahun aku mengenal cowok itu, sejak kelas 1 SMA. Ia memiliki nama
yang aneh menurutku, panggil saja dia Bintang. Dia adalah cowok yang
pendiam, kemana-mana suka menyendiri, antisosial (gak terlalu sih),
dingin, bermuka datar, dan menurutku semua itu adalah sifat paling
menjengkelkan. Namun, jangan dikira, diam-diam banyak yang naksir
padanya. Memang sih, aku akui dia lumayan gantengnya, tinggi, dan
denger-denger dia punya IQ diatas rata-rata. Itu terbukti dengan
prestasinya, tidak hanya dikelas, namun hampir semua olimpiade di
sekolah diikutinya. Wah,
kalau aku sih, satu olimpiade saja masih ogah-ogahan.
”Hoi,
kenapa lo?”
Aku
melirik Dita, teman nakalku dikelas. ”Bisa gak sih lo gak gebuk
punggung gue. Kalau dateng sekolah itu ngucapin salam kek,
Assalamualaikum, atau selamat pagi, atau apalah gitu, bukan dateng
diem-diem kayak orang nguntit.”
Ia
mengacak-acak rambutku, ”Ih, siapa juga yang mau ngungtit lo? Sori
deh sori. Lagian, pagi-pagi lo ngeliatin apaan sih?”
Aku
membenarkan rambutku yang sudah susah-susah aku ikat kebelakang.
Dita duduk di sebelahku. Menirukan apa yang aku lakukan tadi,
meletakkan kedua tangan diatas meja dengan dagu bertopang diatasnya.
Tidak sampai tiga detik ia berkata, “Oh, aku tahu! Lo ngeliatin
cowok mister...”
Dengan
sigap aku menutup mulut Dita dengan telapak tanganku, lalu berbisik,
”Bisa gak sih lo memperkecil suaramu yang gede itu? Malu tahu!”
Dita
mengangguk pelan. Aku melepas telapak tanganku dan menghembuskan
nafas panjang.
”Lintang,
dari tadi lo ngeliatin si cowok resek itu?” Tanya Dita dengan suara
‘sedikit’ lebih rendah dari tadi.
Aku
mengangguk, ”iya, emang napa? Lagipula, bisa gak sih lo gak ngatain
dia resek? Dia kan juga manusia, hargai dikit kek.”
Dita
menganga lebar, ia meletakkan telapak tangannya di atas dahiku, ”Lo
gak lagi sakit kan?”
“Gue
gak sakit.” Jawabku mantap.
Ia
menurunkan tangannya, menatapku dengan selidik-menyelidik, “Lo
naksir ya sama Bintang?”
“Haaaaaah?
Mana mungkin! Gaklah!”
Dita
menggelengkan kepalanya, “Trus, ngapain lo ngeliatin dia melulu?
Bukannya cewek yang sikapnya kayak gitu artinya dia lagi naksir sama
cowok?”
“Tidak.”
Aku melihat Bintang yang duduk di bangku pojok depan, ”Aku cuma
heran saja, cowok kayak gitu kok banyak yang naksir ya?”
Dita
ikut-ikutan melihat Bintang, ”Lo kayak gatau saja, cowok kayak gitu
sih pasti banyak yang suka. Aku heran, otak cewek itu ada di atas apa
dibawah sih, suka sama cowok yang begituan?”
Aku
angkat bahu, ”Mana gue tahu. Aku saja gatau seorang cowok yang
sebenarnya itu bagaimana. Bisa saja kan cuman bagus dari covernya
doang?”
”Makanya,
jadi cewek itu jangan ngejomblo terus. Cari cowok gitulah.”
Aku
mencibir, ”Lagi gak mood sama yang kayak gituan.”
”Oh
ya? Ati-ati loh lo bakal kecantol sama cowok, misalnya saja lo
nyantol sama Bintang.”
Aku
mengangkat wajah, menatap Dita dengan alis terangkat, ”Apa?”
Dita
masih terus berkata. ”Iya kan? Kalo hal itu beneran terjadi, gue
jamin sekolah ini bakalan gempar.”
Aku
meletakkan kedua siku diatas meja dan bertopang dagu, ”Mana ada
yang kayak gitu.”
***
Seperti
biasa, pulang sekolah aku langsung jalan kaki. Jarak tempatku kost
dan sekolahku cukup dekat. Dita sendiri pulang bersama Joe, pacarnya.
Makanya,
jadi cewek itu jangan ngejomblo terus. Cari
cowok gitulah.
Entah
kenapa, aku terpikirkan oleh kata-kata Dita tadi pagi. Apa memang ini
sudah saatnya buatku cari cowok idaman?
Aku
menggeleng-geleng sendiri. Untuk apa sih aku mikirin hal-hal gak
penting kayak gituan?
Aku
tersadar jika aku berjalan sambil melamun. Dan sialnya, aku melangkah
ke jalan alternatif yang sama sekali gak kusuka karena beberapa
faktor, salah satunya preman. Aku pernah dengar dari ’bisik-bisik
tetangga sekolah’ jika gang ini banyak premannya. Itulah alasan
dari dulu aku gak pernah lewat jalan ini kecuali memang dalam keadaan
darurat. Pernah sekali, tetapi beramai-ramai dengan beberapa teman
kelasku karena saat itu mereka mendesakku untuk melewati jalan yang
lebih cepat
Aku
membalikkan badanku ketika seorang lelaki botak sudah berdiri
didepanku, entah sejak kapan. Ia agak tinggi dariku. Entah kenapa
perasaanku jadi gak enak. Aku berbalik badan lagi. Kali ini seorang
laki-laki dengan rambut berantakan, memakai kaos tanpa lengan hingga
seluruh tato di kedua lengannya kelihatan. Jantungku berdetak cepat,
tubuhku bergetar. Mereka tersenyum sinis terhadapku. Aku jongkok,
melewati celah kosong yang ada dibawah dan berlari kabur. Aku
benar-benar berlari tanpa arah hingga aku masuk ke jalan buntu. Aku
menengok ke belakang. Mereka masih ada.
”Sekarang
kau tidak bisa lari lagi manis, ayo kemari.” Ucap lelaki yang
berkepala botak, merayuku seperti aku ini hewan peliharaan. Aku
berteriak minta tolong, namun percuma, tak ada yang datang.
”Tak
akan ada yang bisa mendengarmu sayang.” Kata lelaki bertato.
Suaranya terdengar berat dan menakutkan. Aku tersandar di dinding
dengan harapan akan ada yag datang menolong, meskipun aku tahu itu
mustahil. Aku benar-benar ingin menangis. Aku benar-benar takut.
Mereka berdua semakin dekat dan aku tak bisa berbuat apapun.
Aku
terduduk dan menundukkan kepala. Kututup kedua mataku, sampai
disinikah aku akan berkhir konyol seperti ini?!
Aku
mendengar salah satu dari mereka berteriak, disusul oleh suara orang
berkelahi. Ada apa?
Perlahan
aku membuka kedua mataku dan mengangkat wajahku.
”Bodoh.”
Kedua
mataku terbelalak melihat laki-laki berseragam SMA yang sangat aku
kenal. ”Kenapa lo ada disini?”
Ia
diam, dengan raut wajah tetap datar seperti biasanya. Luka-luka
membiru mulai tampak di beberapa titik di wajahnya. Aku menengok ke
belakang. Salah satu preman itu berlari ke arah Bintang dengan
menggenggam batangan kayu. “Awas!”
Bintang
menengok ke belakang, ia menghalangi pukulan keras dari preman itu
dengan sebelah tangannya hingga batang kayu terbelah menjadi dua.
Bintang memukul bagian perut preman itu dengan sekali sentakan hingga
ia terkapar. Bintang meraih lengaku dan membawaku berlari pergi. Aku
sempat melihat tangannya membekas sebuah luka panjang, bekas pukulan
preman itu. Setelah dikira aman, kami berhenti melangkah.
“Bintang,
sori, tapi tangannya...”
Bintang
melihat tangannya yang menggenngam tanganku, dan ia segera
melepasnya. ”Maaf.”
Aku
menggeleng, “Seharusnya aku yang minta maaf. Kenapa
tadi kamu ada disana?”
”Kau
tak perlu tahu.” Jawab Bintang dingin, tanpa melihatku. Ia
menggenggam lengannya yang terluka. Aku mengeluarkan sapu tangan dari
dalam tasku, aku basahi dengan air mineral milikku yang tersisa,
”Sini lenganmu.”
Agak
ragu ia menunjukkan lengannya yang terluka. Aku mengikatkan sapu
tanganku di atasnya. ”Setidaknya ini buat pertolongan pertama.”
Ia
tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku membiarkannya meski sebenarnya
aku agak jengkel juga. ”Selesai.”
”Aku
yakin kau tak akan memberitahuku dimana rumahmu, jadi aku akan pulang
duluan. Sampai jumpa esok.”
Aku
meninggalkan ia disana begitu saja. Biarlah, ntar juga dia juga
ikutan lenyap.
”Asal
kau tahu, rumahku dekat dengan tempatmu tinggal.”
Aku
berhenti melangkah, ”Apa?”
***
”Lintaaaaaang,
lo ngapain kemareeeen.”
Dengan
malasnya aku menoleh ke arah Dita yang datang tergopoh-gopoh,
langsung ambil tempat duduk, ”Lo kemaren jalan bareng Bintang?”
Aku
meletakkan jari telunjukku di depan bibir Dita, ”Jangan
keras-keras.” aku melirik Bintang yang tetap duduk di bangkunya
tanpa ada reaksi apapun. Aku
mengusap dadaku, lalu menyipitkan kedua mataku, ”Darimana kau
tahu?”
Dita
meringis, ”Gosipnya udah nyebar. Ada kakak kelas yang melihat
kalian berdua pulang bersama, apa bener?”
”Iya
iya dan iya. Lagian kenapa sih, biasa saja, gak usah sampai
berkoar-koar kayak gitu.”
”Bagaimana
ceritanya lo sampe bareng jalan sama dia?”
Aku
menceritakan semuanya, tanpa ada yang terlewat.
”Kok
dia tahu kau ada disana?”
Aku
angkat bahu, ”Mana kutahu.”
”Lalu,
kalian sempat berbicara?”
Bola
mataku berputar, ”Sedikit banget. Satu-dua
patah kata. Gak lebih.” aku sama sekali tidak lupa dengan peristiwa
itu, jalan kaki tanpa ada pembicaraan sama sekali. Jikalau berkata
pasti aku dulu yang mulai. Itupun dijawab jika memang harus dijawab,
jika bukan pertanyaan penting, ia pasti akan mengunci rapat mulutnya.
”Dimana
sih rumah cowok itu?”
”Aku
gak tau detailnya. Yang kutahu hanyalah gangnya yang gede
bersebelahan dengan tempat kos ku yang emang terletak di tepi jalan
raya.”
”Oh
ya? Tapi setahu gue sih, dia naik motor kalo pulang-pergi sekolah.”
Aku
menggelengkan kepalaku, ”Lo naksir ya sama si Bintang?”
”Apa?
Mana mungkin aku naksir sama dia. Lagian gue tetep setia kok sama
Joe.”
”Iya
deh iya, yang tetep setia...”
Dita
terkekeh, ”Ati-ati loh, sedikit gosip, pasti akan ada peristiwa
yang gak-gak.”
”Gue
tahu. Setiap peristiwa pasti akhirnya bakal ada akibatnya kok.”
***
Sesuai
dugaan, dalam waktu tak kurang dari seminggu di kolong mejaku selalu
terisi satu atau dua surat gak jelas dibungkus amplop hitam. Bukan
malah ngeri, tapi aku malah terkekeh sendiri dengan surat-surat itu.
Seperti inilah contoh isinya.
Lo
jangan kecentilan deh, sok deket sama Bintang!
Atau
yang lainnya,
Mentang-mentang
lo sekelas sama Bintang, jangan harap lo bisa ngerebut dia dari
tangan gue!
Dan
surat-surat yang lainnya. Aku sih sama sekali tidak peduli, karena
aku yakin itu hanyalah ancaman biasa. Dita yang sempat cemas dengan
keadaanku, aku menyakinkan dia jika aku baik-baik saja.
”Lo
mau kemana?” Tanya Dita, ketika aku beranjak dari tempat dudukku
dengan dua buah buku berada dipelukanku. ”Gue? Mau ke perpus?”
”Gue
temenin ya?”
Aku
menggeleng, ”Gaperlu. Aku gakpapa kok. Itu kan hanya ancaman biasa
Dit. Lagian lo kan anti banget sama yang namanya perpustakaan. Gue
cabut dulu.”
Aku
melangkah santai keluar kelas menuju perpustakaan di lantai dua,
meskipun aku tahu ada mata-mata singa betina yang mengintai, cuek
sajalah.
Baru
melangkah ke perpustakaan, aku melihat sekitar dan kedua mataku
menangkap seorang cowok duduk di kursi dengan buku tebal diatas meja.
Aku heran, si Bintang itu kok gak kena minus ya baca buku, entah apa
judulnya, setebal itu?
Aku
mengincar buku Fisika, banyak yang belum aku mengerti dari penjelasan
Pak Hari, seenggaknya aku membaca sedikit, syukur-syukur deh jikalau
aku mengerti.
Aku
mengambil tempat duduk, membuka buku dan mencoba mengerjakan soal
latihan yang semakin lama membuat kepalaku pening.
”Ini
bukan pakai cos, tetapi sinus.”
”Eh?”
Aku
mengedipkan kedua mataku, sejak kapan Bintang duduk disampingku.
”Mana pensilmu.”
”Kau
mau apa?”
Bintang
menyipitkan kedua matanya, ”Aku tak tahan melihatmu terus-terusan
menggaruk-garuk kepala. Itu menjijikkan.”
Apa
katanya? Sungguh, aku ingin menjotos cowok ini. Tetapi, dia
melihatku? Untuk apa dia melihatku?
”Mau
tidak aku ajarin?”
Jangan
menolak rezeki yang datang, dengan mantap aku mengangguk. Ia terus
menjelaskan jawaban dari soal latihan yang belum kupahami serta ia
juga menjelaskan kembali pelajaran yang belum aku mengerti benar.
Hingga
tidak terasa bel sekolah berbunyi dan semua ini harus berakhir.
”Thanks
ya Bintang, gue jadi tertolong nih.”
Bintang
tidak berkata apapun. Biarlah, dia emang kayak gitu, mau diapain
lagi?
Aku
menatap punggungnya yang lebar hingga ia menghilang dari pandangan.
Ia memang seperti itu, tapi kurasa dia orang yang baik.
***
Hari
ini aku ada ekstrakulikuler sehingga aku pulang agak sore dan
sekarang sekolah sudah sepi. Aku terap berjalan santai seperti biasa
meskipun perasaanku tidak nyaman sejak keluar dari ruang kumpul
ekstra jurnalistik. Aku terus berjalan dan tidak menyadari jika ada
seseorang dibelakangku, menyiramku dengan air bau kemudian tepung dan
telur busuk. Aku membalikkan badan, dan melihat tiga orang cewek
tersenyum sinis terhadapku.
“Ih,
kasiannya cewek ini.” Kata salah satu dari mereka, berambut hitam
ikal, lebih tinggi dariku. Ia memegang kedua pipiku dan sedikit
menekannya.
“Makanya
jadi cewek itu jangan kecentilan.” Ujar dari cewek yang lain,
diikuti oleh cewek berambut pendek, ”Jadinya kan seperti ini.”
Perempuan
yang menekan pipiku langsung mendorongku hingga aku terduduk menahan
sakit, ”Apa sih bagusnya lo, sampe-sampe lo bisa deket dengan
Bintang? Atau jangan-jangan lo pake dukun ya buat deketin dia?”
Sungguh,
aku ingin sekali memukul mereka. Namun aku terlalu takut dan sekarang
aku hanya bisa menahan tangis. Aku benar-benar terpojok karena mereka
menyebar mengeliliku hingga aku tidak mempunyai kesempatan untuk
keluar. Dan anak-anak lain yang masih ada disekitar sekolah tampaknya
gak bisa berbuat apapun selain hanya melihat.
”Bisa
tidak kalian menyingkir dari sana?”
Suara
itu...
Bintang
menerobos mereka bertiga, melepas jaket yang dipakainya dan digunakan
untuk menutupi diriku. Ia menggenggam bahuku dan membantuku untuk
berdiri. ”Sekali lagi kalian melakukan hal seperti ini, jangan
salahkan aku jika aku bertindak keras terhadap kalian. Dan satu hal,
jangan ganggu Lintang lagi. Kuharap kalian mau memahami hal itu.”
Suaranya
terdengar biasa dan datar, namun kalimat itu beanr-benar membuat
sekitar menjadi hening. Ia membawaku pergi ke taman kecil yang berada
di samping sekolah. Menyuruhku duduk di bangku coklat yang berada di
bawah pohon rindang dengan beberapa dedaunan yang berguguran diterpa
hembusan angin sore. Ia mengeluarkan sebuah sapu tangan biru dari
dalam sakunya dan melap wajahku dengan sapu tangan itu. ”Maaf,
karena aku, kau jadi seperti ini.”
Aku
tersenyum, ”Tidak kok. Udah resikonya. Kau benar-benar populer ya
disekolah ini.”
”Aku
hanyalah seseorang yang terlihat bersinar dari luar, namun sebenarnya
aku gelap dari dalam. Aku hanyalah seorang penipu. Aku bukanlah
Bintang seperti bintang yang ada di langit.”
Aku
tak mengerti dengan ucapan orang ini, ”Apa maksudmu?”
”Lupakan
saja.”
Ia
beranjak dari duduknya, ”Bagaimana kau mau pulang?”
”Aku?
Ya jalan kaki kan seperti biasa.”
”Mamalukan.”
Ia berdiri dihadapanku, ”Aku akan mengantarmu pulang.”
”Hah?”
***
”Lo
bener-bener baik-baik saja?”
Aku
memasang headset yang sejak tadi aku cari. Tanganku benar-benar lelah
memegang ponsel dan telingaku mulai terasa panas, ”Iya, aku gakpapa
kok dit. Darimana
lo tahu gue diguyur sama Rena cs?”
”Sita
bilang ke gue. Huh, kalo gue jadi lo, pasti udah gue jotos deh.”
Aku
tertawa, “Ada-ada saja lo.”
“Lalu,
gimana cara lo pulang? Gak mungkin kan lo pulang jalan kaki dengan
keadaan kayak gitu.”
“Bintang
nganter aku pulang pake mobilnya.”
Aku
melepas headsetku sesaat dan kembali memakainya, “Bisa gak kalo
kaget jangan sambil teriak?”
Dita
terkekeh, “Kok keren banget?”
“Apaan
sih? Biasa saja kali non. Eh,
kata lo Bintang ke sekolah bawa motor? Tapi kok ini...”
”Oh,
dia juga bawa mobil kok.” Jelas Dita memotong ucapanku,
”Kadang-kadang. Tapi Bintang itu kok seperti jadi dewa penyelamat
dadakan lo sih?”
Aku
melongo meskipun aku tahu Dita tidak melihatnya, ”Maksud lo?”
”Iya.
Tempo hari dulu dia nyelametin lo dari amukan preman, sekarang udah
ngajarin lo fisika, ditolongin lagi dari amukan Rena cs. Dan semua
perisiwa itu lo sama sekali gak kepikiran yang nyelametin lo itu si
cowok es itu.
Aku
tertawa, ”Jangan-jangan dia udah ketularan sifat nguntit lo, Dit.”
”Sialan
lo.”
”Kalo
gitu udahan dulu ya. Aku mau pergi ke suatu tempat.”
”Kemana?
Kenapa kamu kayaknya main rahasia-rahasiaan sih sekarang?”
Ni
anak emang selalu membuatku kehilangan kata-kata, ”Ke rumahnya
Bintang.”
Sekali
lagi aku melepas headsetku dan memasangnya kembali, ”Gue minta dia
ngajarin gue beberapa mapel yang belum gue pahami.”
”Alasan
lo itu, pasti lo pengen ngeliatin dia.” Canda Dita sambil tertawa.
“Gaklah.
Ngapain? Naksir aja nggak.”
”Ah
masa’ sih? Emang naksir kan gak harus sekarang Lintang. Tapi ntar.
Nanti. Yaudah deh, pergi sana.”
”Ngusir
nih ceritanya? Hahaha, okelah. Udah dulu ya Non, Assalamualaikum deh.
Met malem.”
***
Sejak
saat itu penyiksaan Bintang terhadapku dimulai. Ia hanya mengajariku
sebentar, kemudian memberiku bertumpuk-tumpuk tugas. Sebulan saja map
milikku sudah penuh. Ditambah lagi hanya menjelaskan soal latihan
yang benar-benar paling sulit. Awalnya aku sebal dan ingin berhenti,
namun itu hanya ucapan, aku tetap bertahan dan akhirnya terbiasa.
Semua itu terjadi beberapa bulan dan hanya Dita yang tahu. Hingga
pada saat ujian akhir semester pertama datang, beberbeda dengan
biasanya, aku dapat mengerjakannya dengan baik dan memperoleh hasil
yang memuasakan. Bahakan tanpa aku inginkan, aku masuk peringkat ke-5
dikelas. Aku mengira ini hanyalah mimpi, aku meminta Dita mencubit
pipiku dan itu rasany sakit. Bukan mimpi, tapi nyata.
Ujian
yang berlalu, digantikan oleh rencana teman sekelas pergi berlibur ke
Villa milik Dita yang berada di tepi pantai dan menginap disana
selama 5 hari. Tak ada peristiwa yang mengesankan, kecuali satu
hal...
***
Hari
ke 3, Malam hari di
hari libur.
Aku
duduk sendiri di tepi pantai, menatap bintang-bintang yang bertaburan
dilangit. Tak ada suara manusia, yang ada hanyalah suara dari deburan
ombak pelan. Kulipat kedua siku lututku dan memeluknya. Bodoh, kenapa
aku gak memakai jaket?
“Ngapain
kau disini?”
Aku
mengangkat wajah, Bintang menatapku dengan tampang datarnya, ia
mengambil tempa duduk di sampingku. Ini benar-benar gila, kami tidak
pernah seperti sekarang ini kecuali disaat belajar bersama. Itupun
kadang ada Ibu Bintang yang sifatnya 360 derajat berbeda dengan
anaknya.
”Kau
melihat bintang atau melihat laut?”
”Hmm...dua-duanya.
Tetapi aku lebih suka melihat bintang, habis lautnya gelap.”
”Begitukah?”
“Lo
sendiri ngapain disini? Pake acara bawa gitar segala.” Kataku
ketika aku menyadari ada sebuah gitar disamping tempat Bintang duduk.
”Tidak.
Aku hanya ingin membawanya.”
”Aneh.”
”Apanya
yang aneh?”
Aku
menggeleng. ”Lupakan saja.”
”Aku
ingin mengucapkan maaf padamu.”
Aku
menoleh, menatap Bintang yang juga melihatku. Ada
apa dengan anak ini? ”Minta maaf? Buat apa?”
”Karena
aku, kau jadi selalu susah.”
Aku
menggeleng, ”Enggak kok. Dari dulu aku selalu berprinsip jika
setiap peristiwa pasti ada akibatnya, dan ada hikmahnya. Itu saja.
Lagipula, hidup ini harus dijalanin dengan ikhlas dan? Terus maju ke
depan?”
Bintang
tersenyum. Aku menutup mulutku, aku benar-benar terkejut. Senyumannya
itu adalah senyuman yang pertama kulihat.
”Lintang,
kau tahu? Kau
lebih tegar daripada aku. Kau lebih dari bintang yang bersinar diatas
sana, sedangkan aku hanyalah seperti lautan yang hitam hingga ujung
sana. Jikalau hidupku panjang, mungkin aku tidak seprti sekarang.
Sayangnya, hidupku tidak sepanjang itu.”
Aku
menjulurkan kakiku hingga tertimpa air pasang, ”Hidup kan hanya
Tuhan yang tahu. Kita tidak boleh menyerah begitu saja pada hidup
yang mungkin semakin sulit. Lagian, aku ingat kau pernah bilang jika
kau ini penipu kan? Kau
bukan penipu, tetapi kau terpaksa menipu karena suatu hal, meskipun
aku tahu apa alasanamu melakukan itu...”
Aku
menghembuskan napas panjang, dan melanjutkan, ”...Tetapi aku yakin
kau laki-laki yang baik,
Meskipun
kadang kau menyebalkan sekali. Selama mengenalmu saja, aku sudah
mengalami banyak hal. Dan tahu tidak, ini pertama kali dalam sejarah
hidupku aku dekat dekat cowok sepertimu, dan aku mensyukurinya.”
”Kau
ini terlalu naif.”
Aku
mencibir.
Ia
mengambil gitar dan memulai memainkannya, ”Anggap saja ini adalah
balasan atas ucapan maaf dariku.”
Ia
mulai menyanyikan sebuah lagu, aku tidak terlalu mengerti lagu Barat,
yang ini aku tahu. Seconhand Serenade-Your Call. Sungguh, suaranya
benar-benar menyentuh. Aku menutup kedua mataku. Entah mengapa, aku
kembali mengingat kenanganku bersama Bintang. Aku meletakkan daguku
diatas kedua lipatan siku kakiku yang kupeluk. Tidak
terasa, malam ini aku benar-benar bisa bersama dengan Bintang dalam
keadaan lepas. Meskipun aku tidak tahu dia yang sebenarnya dan
rahasia yang ia sembunyikan.
Tanpa
terasa malam itu benar-benar terasa singkat, namun mengenang. Ia
beranjak dari tempat duduknya, melepas jaket yang dipakainya dan
memakaikannya padaku. Kemudian ia berbalik badan, ”Lintang, aku
benar-benar senang dapat mengenalmu meskipun itu hanyalah sesaat.
Setelah ini, aku harap kau bisa melupakanku dan semuanya agar kau
tidak rapuh.” Ujarnya sebelum ia benar-benar pergi dari tempat ini.
Aku tidak mengerti apa maksud ia mengatakan semua itu, namun aku
merasa akan ada sesuatu yang terjadi dan aku sama sekali tidak
mengharapkan hal itu benar-benar terjadi.
***
Aku
benar-benar tidak ingin terjadi hal ini. Aku tidak menginginkannya.
Sudah lebih dari empat bulan bangku itu kosong. Secara tiba-tiba
Bintang pindah sekolah tanpa alasan dan tanpa pamit juga. Tidak hanya itu, rumah tempat tinggal Bintang
telah ditempati oleh orang lain. Sejak saat itu pula, aku merasa
benar-benar ada yang hilang dariku. Apakah
ini yang ia maksud dari kata-katanya di malam itu?
Setelah
ini, aku harap kau bisa melupakanku dan semuanya agar kau tidak
rapuh.
Awalnya
aku sama sekali tidak merasakan kerapuhan, namun seiring berjalannya
waktu, kerapuhan itu muncul tanpa aku kehendaki.
”Lintang,
makan yuk. Biasanya kan lo hobi langsung cabut ke kantin.”
Aku
menggeleng pelan, menumpukan kepalaku diatas kedua tanganku yang
kuletakkan diatas meja, ”Tidak deh. Gue lagi gak mood nih.”
Dita
menyentuh bahuku, ”Udah dong Lin, mau sampe kapan sih lo kayak
gini? Hanya gara-gara Bintang gak ada. Cowok di dunia ini kan gak
hanya satu.”
Aku
mencoba tersenyum, mengangkat kepalaku, menatap lurus ke depan dengan
tatapan kosong, ”Gue tahu, sangat tahu. Tetapi karena dia, gue
mendapat warna baru dalam hidup gue. Awalnya gue gak menyadari hal
ini, tetapi aku udah telanjur suka sama dia.”
Aku
menggigit bibir, ingin sekali rasanya menangis. ”Bagaiman dia
dengan mudahnya bilang kayak gitu mengatakan aku harus ngelupain
semuanya.”
”Mungkin
dia udah tahu Lin, dia tak ingin bikin lo sedih dan mengingat semua
kenangan yang udah terjadi. Mungkin dia takut jika dia pergi, lo
bakal sedih.”
”Tapi
kenapa dia gak bilang pada gue alasan dia pergi Dit? Kenapa?”
Aku mulai terisak.
”Sekali
lagi gue bilang, dia gak pengen lo sedih.”
”Tapi
perbuatannya ini malah sebaliknya, bikin aku sedih Dit.”
Aku
menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, ”Dita, apa gue salah
ya jika aku mulai terjatuh pada Bintang? Apa Tuhan gak ngizinin gue
buat jatuh padanya?”
Dita
memelukku erat, ”Jangan nyalahin Tuhan. Lo gak salah, sama sekali
gak salah jika lo udah telanjur jatuh pada Bintang, tapi mungkin
Tuhanudah ngerencanain yang terbaik buat lo dan buat Bintang. Sebuah
rencana yang mungkin Bintang udah tahu, tapi belum saatnya untuk kamu
ketahui.”
***
Tiga
hari kemudian adalah hari besar untukku karena aku masuk umur ke
tujuh belas tahun. Seperti biasa, pulang sekolah aku langsung
dikerjain habis-habisan, disiram air, tepung, dan telur oleh
teman-teman sekelas. Tentu saja, pelopornya adalah Dita. Untung aja
deh mereka gak minta traktiran.
Hampir
sejam aku berada di kamar mandi di sekolah. Beruntung aku membawa
baju ganti, sabun mansi, dan empat sachet sampo yang harganya lima
ratus rupiahan.
”Lin,
ponsel lo bergetar dua kali.” Kata Dita ketika aku keluar dari
kamar mandi. Ia menyerahkan ponselku yang memang kutitipkan pada
Dita. Satu SMS dan satu MMS. Aku membuka MMS terlebih dahulu, gambar
taburan bintang dari langit. Kemudian Aku membuka SMS yang masuk.
Happy
Birthday untuk bintang paling bersinar.
Tunggu
dulu...Bintang paling bersinar?
”Dita...”
”Hm?”
”Dia
Dit, dia, apa maksud dia mengirimku pesan seperti ini Dit?”
Dita
langsung mengerti apa maksud dari ucapanku. Aku kembali terisak,
kenapa dia muncul lagi setelah hilang tanpa memberi kabar apapun?
“Coba
deh lo miscall nomor itu.”
Aku
mengikuti saran Dita. Ku
miscall nomor
telepon yang megirimku pesan tersebut. Aku menggeleng, “Tidak
aktif.”
Dita
tersenyum tipis, “Sabar ya.”
Aku
mengangguk pelan. Kutatap ponselku yang masih menyala, entah mengapa,
aku merasa dia masih ada disini.
***
“Bu,
mau pinjam buku ini.”
Aku
menyerahkan 2 buku yang ingin aku pelajari di tempat kos. Entah
mengapa, tiba-tiba aku ingin menanyakan suatu hal, ”Bu, apakah saya
boleh menanyakan sesuatu?”
”Silakan.
Apa yang bisa saya bantu?” kata petugas perpustakaan itu tanpa
mengalihkan pandangan dari layar komputernya.
”Kalau
boleh tahu, Bintang, anak yang pindah dari sekolah ini, itu sering
meminjam buku....”
”Oh,
Bintang yang sering kesini itu?” Kata petugas tersebut memotong
ucapanku, ”Setahu saya, dia sering membaca buku biologi tentang
organ dalam. Itu buku yang ada disana.” Kata pertuga perpustakaan
sambil menujuk buku tebal yang letaknya di barisan rak paling bawah.
Organ dalam? Apa dia ingin menjdi dokter?
Aku
mengambil buku itu, dan mulai membukanya. Sebuah kertas yang terselip
dari dalamnya jatuh ke lantai. Aku mengambil kertas itu. Ada isinya,
dan aku tahu, itu adalah tulisan Bintang. Kanker Otak?
”Nona
Lintang, bukunya...”
Aku
mengangkat wajah, ”Oh, iya Bu. Maaf.”
Aku
melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku seragamku. Aku
membaca isi kertas itu, dari awal sampai akhir semua tentang
rangkuman penyakit kanker otak. Aku tetap tidak mengerti. Untuk apa
Bintang menulis hal seperti ini?
Aku
melangkah keluar gerbang ketika seorang anak permepuan berambut
pendek seleher, memakai seragam putih abu-abu dengan badge di lengan
kanannya berbentuk angka romawi ’X’
dan
berkacamata menghalangi langkahku, ”Kakak yang bernama Lintang ya?”
***
”Apa?
Gak, gak mungkin. Adik bohong kan?”
Perempuan
yang tadi menghalangiku, yang tidak lain adalah adik dari Bintang,
menggeleng pelan, ”Untuk apa aku berbohong tentang kakakku sendiri?
Kakak memang mengalami kanker otak, dan sekarang sudah mencapai
sadium akhir. Dokter memvonis jika hidup kakak sudah tidak lama
lagi.”
Dunia
terasa runtuh seketika. Apa-apaan ini? Jadi karena inikah maksud dari
semua kata-kata yang Bintang ucapkan untukku, kata-kata yang sulit
untuk kupahami maknanya? Karena inikah Bintang pindah dari sekolah?
”Apa
kakak tidak pernah tahu tentang hal ini?”
Aku
menggeleng lemah, ”Aku tidak tahu, karena sifat dasarnya seperti
itu, dia tak pernah memberitahuku. Aku pernah mencurigai satu hal
tentangnya, ia sering sekali memegang kepalanya ketika aku dan dia
belajar bersama.”
”Dulu
kakak gak seperti itu. Sifatnya berubah sejak Dokter memvonis dia
terkena penyakit itu waktu SMP kelas dua.”
Aya,
adik Bintang mengambil nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan,
”Aku baru tahu hal ini ketika kakak bercerita padaku secara
pribadi. Kakak menyuruhku untuk tidak bilang siapapun, bahkan Mama
juga terlambat mengetahuinya.”
”Tetapi
aku jarang melihatmu dirumah?”
”Memang.
Letak sekolahku dengan Rumah cukup jauh, aku kos di kompleks yang
dekat dekat sekolah. Apa kakak tahu? Kak Bintang sering sekali
bercerita tentang dirimu. Padahal, dulu ia sama sekali gak pernah
dekat dengan cewek...”
”...Dia
memang gak bilang suka, tapi aku bisa melihat binar matanya dan
senyumannya, meskipun tipis sekali, hingga aku tahu kak Bintang suka
sama kak Lintang. Ia juga yang menyuruhku untuk memberi ucapan
selamat padamu karena sekarang ia sudah terbaring lemah di rumah
sakit. Aku diam-diam mengatakan semua ini karena aku juga tahu, kak
Bintang merindukanmu. Buktinya ia bisa bertahan hingga saat ini,
padahal Dokter sudah memvonis dia dua minggu yang lalu sudah tak ada
harapan untuk hidup. Aku rasa, ia menunggumu.”
Aku
menundukkan kepalaku, kedua tanganku terlipat di dada. Kau bodoh
Bintang, kau bodoh!
Aku
memaksa untuk berbicara meskipun tenggorokanku sekarang terasa
tercekat, ”Aya, bisa kau beritahu, dimana ia dirawat?”
***
Aku
berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit, tak ingin ambil pusing,
aku menuju lantai tiga, tempat Bintang dirawat menggunakan anak
tangga. Lelah
sama sekali tak terasa apa-apa untukku. Tujuanku hanyalah satu,
Menemui Bintang!
Aya
juga mengikutiku, karena aku terlalu tergesa-gesa, Ayalah yang kena
imbasnya. Salah satu kakinya salah menginjak tangga sehingga ia
terkilir. Aku mengangkat wajah dan kembali menuruni tangga, ”Aya,
kau baik-baik saja?” Tanyaku cemas. Kenapa aku sampai lupa jika ada
Aya yang mengikutiku?
Aya
mengangguk pelan, ”Aku baik-baik saja kak. Hal ini sama sekali
tidak penting. Yang lebih penting sekarang adalah kak Bintang. Kau
harus menemui dia sebelum terlambat.”
”Tetapi...”
Tiba-tiba
aku merasa perasaanku sama sekali tidak nyaman. Ada apa ini
sebenarnya?
”Kakak
pergi duluan saja. Aku akan menyusul. Tempat kak Bintang dirawat ada
di kamat VIP nomor 20.”
Aku
mengangguk. Maaf Aya, aku benar-benar minta maaf.
Aku
melangkahi anak tangga dan berlarian di koridor rumah sakit tanpa
memperhatikan orang-orang yang aku tabrak. Lagi-lagi aku membuat
kekacauan dengan menabrak seorang nenek yang sedang asyik dengan
dompetnya. Akibatnya, semua uang recehan yang berada didalamnya jatuh
berserakan di lantai. Aku memungutinya satu persatu, entah itu sudah
lengkap atau tidak, aku memasukkan seluruhnya ke dalam dompet nenek
tersebut, ”Maaf ya...nek...”
Suaraku
merendah ketika kedua mataku melihat sebuah ranjang didorong keluar
kamar oleh tiga orang perawat yang arahnya berlawanan dengan tempatku
berdiri. Diatasnya mungkin ada seseorang yang sudah tak bernyawa,
sangat mudah ditebak karena sudah tertutup oleh kain putih. Kemudian
seorang dokter dan pasangan suami-istri (mudah ditebak) juga ikut
keluar. Tampak sang istri tak kuasa menahan tangis dipelukan
suaminya. Mereka membelakangiku sehingga aku tidak bisa melihat
wajahnya.
Aku
sama sekali tidak berkedip melihat ranjang itu terus berjalan menjauh
dan menghilang di tikungan. Bukan...Bukan...itu pasti salah, itu
bukan Bintang, aku yakin sekali, itu bukan Bintang.
Aku
terus melangkah meskipun kedua kakiku terasa berat seperti di tindih
baja berat. Aku mencari kamar nomor dua puluh. Ketika aku mendapai
kamar nomor sembilan belas, aku mengangkat wajah dan melihat pintu
yang terbuka lebar. Aku menggigit bibir, bukankah ini adalah kamar
tempat ranjang yang didorong oleh para perawat tadi?
Dengan
menahan sejuta kerapuhan aku melihat nomor yang tertera di pintu. Dan
pertahananku benar-benar hilang. Aku duduk lemas bersandar di pintu
dengan kerapuhan di dalam hati berubah menjadi sebuah isakan dan
tangisan. Bintang telah pergi...ia telah pergi...padahal aku belum
mengatakan sepatah katapun, tetapi mengapa...
”Kakak...”
Aya
berdiri di belakangku, duduk di sampingku, dan airmataku benar-benar
mengalir deras, menangis dipelukannya.
***
Taburan
bunga diatas sebuah gundukan tanah itu mengkahiri proses pemakaman.
Didalam gundukan itu, terbaring seseorang yang wajahnya masih jelas
di pikiranku. Satu persatu orang meninggalakan makam itu, hingga
tempat itu benar-benar sepi. Sejak tadi aku terus bersembunyi di
balik pohon, melangkah pelan keluar dari sana, menuju gundukan tanah
itu. Aku menyuruh Dita untuk pulang terlebih dahulu, sedangkan Aya
juga telah pulang setelah memberikan sebuah surat yang berada di
dalam amplop cokelat, titipan dari Bintang disaat beberapa hari
sebelum ia benar-benar pergi. Aku duduk disamping makam, dan
memaksakan sebuah senyuman tersungging di bibir. Aku membuka surat
itu ditempat ini, karena aku sengaja membacanya disini.
Dibatas
hari-hari dimana aku tak akan ada di dunia ini kembali, kucurahkan
seluruh isi hatiku dengan menggoreskan tinta hitam di atas kertas.
Aku yakin kau pasti akan datang melihatku meskipun aku telah tertidur
di bawah tanah sendiri. Kutitipkan surat ini pada Adikku Aya, beserta
sebuah foto, semua tentang dirimu yang kuambil secara diam-diam dan
aku sangat yakin kau tak akan menyadarinya. Aku selalu tersenyum jika
melihat foto itu, aku selalu berharap aku dapat lebih mengenalmu
lebih dari ini, namun aku masih sadar, itu adalah hal yag sangat
mustahil.
Maaf,
Aku telah membuatmu marah dan menyakiti perasaanmu. Semua itu terjadi
begitu saja, sejak awal kelas satu SMA, aku mengenalmu. Aku mulai
tertarik padamu. Awalnya aku mengacuhkan perasaanku karena aku sadar,
aku tak akan pernah membuatmu bahagia. Tanpa aku inginkan, aku malah
dekat denganmu, aku bodoh kan?
Semua
berjalan seiring waktu, diikuti dengan penyakitku yang juga ikut
memakan tubuhku, hingga mencapai stadium akhir. Aku selalu mencari
alasan ketika kau melihatku memegang kepala. Aku tak ingin membuatmu
cemas, dan aku meyakinkanmu jika semua ini akan baik-baik saja
meskipun sebenarnya itu adalah sebaliknya.
Aku
menemukan hari yang tepat sebelum aku benar-benar pergi. Aku
melihatmu melangkah ke pantai sendiri di malam hari, dan aku
mengambil kesempatan itu. Setidaknya aku bisa memberimu sebuah ucapan
perpisahan meskipun kau tidak mengetahuinya. Aku mengatakan padamu
untuk melupakan semuanya karena aku tak ingin membuatmu sedih
karenanya. Aku ini benar-benar orang yang kegeeran.
Aku
memilih pergi karena aku khawatir semakin lama kau pasti akan tahu
aku, dan aku sendiri sama sekali tak ingin kau tahu siapa dan
bagaimana aku yang sebenarnya. Aku berjanji tak akan melupakan semua
kenangan itu. Kau lebih bersinar dariku, aku ini hanyalah laut hitam,
bukankah begitu?
Dan
aku ingin mengatakan sejujur-jujurnya padamu
Aku....mencintaimu.
#
Jangan menangis, kau tak mau aku bersedih disana bukan?
Semangat!
^^
Ia
menulis surat ini sambil menangis, aku tahu. Beberapa
tulisan terlihat memudar, namun masih dapat dibaca. Aku
mengamati foto-fotoku sendiri yang ia ambil secara diam-diam olehnya.
Ada sekitar 5 lembar.
”Apa
kau tahu? Aku sebenarnya tak peduli dengan keadaanmu. Aku tetap
menerimamu. Aku sudah telanjur jatuh padamu. Maaf, aku datang
terlamabat, aku tak bisa melihat wajahmu untuk yang terakhir kali.
Selalu saja, aku ini memang payah. Aku ini...memang payah
sekali...andai aku menyadarinya...”
Aku
tertunduk disamping gundukan dan menangis. Foto-foto
itu kugenggam erat didepan dada. Entah berapa lama aku menangis,
airmataku menutup mataku. Aku tertidur disana, ditemani oleh butiran
air dari langit kelabu yang berjatuhan yang semakin lama semakin
banyak menjadi hujan.
Kau
tahu, kau bukanlah lautan hitam, yang hanya memantulkan sinar bintang
hingga terlihat palsu diatasnya, namun dimataku kau benar-benar
bintang, lebih bersinar dari berjuta-juta bintang dilangit sana.
Ketika
aku melihat senyumanmu untuk pertama kalinya, kau menampakkkan sebuah
ketulusan didalamnya. Aku benar-benar berharap kau akan menampakkan
senyum itu kembali dihadapanku. Namun, aku tidak pernah menyangka
jika senyumanmu disaat itu adalah senyuman yang pertama dan yang
terakhir.
Izinkan
aku menangis dan menemanimu disini. Untuk sekarang ini saja, kumohon
biarkan aku egois, besok aku akan ceria kembali, tanpa menunjukkan
guratan kesedihan dari raut wajaku. Bolehkah aku menjadi Bintang
penggantimu, meskipun aku tahu, aku tak akan dapat bersinar melebihi
sinar yang kau miliki?
-The
End-
Lirik
lagu Seconhand Serenade-Your Call
Waiting
for your call, I’m sick, call I’m angry,
Call
I’m desperate for your voice
I’m
listening to the song we used to sing
In
the car, do you remember, butterfly, early summer?
It’s
playing on repeat, just like when we would meet
Like
when we would meet
Cause
I was born to tell you I love you
And
I am torn to do what I have to
To
make you mine, stay with me tonight
Stripped
and polished, I am new, I am fresh
I
am feeling so ambitious
You
and me, flesh to flesh
‘Cause
every breath that you will take
When
you are sitting next to me
Will
bring life into my deepest hopes, what your fantasy?
What’s
your, what’s your
I
was born to tell you I love you
And
I am torn to do what I have to
To
make you mine, stay with me tonight
And
I’m tired of being all alone
And
this solitary moment makes me want to come back home
And
I’m tired of being all alone
And
this solitary moment makes me want to come back home
And
I’m tired of being all alone
And
this solitary moment makes me want to come back home
And
I’m tired of being all alone
And
this solitary moment makes me want to come back home
I
was born to tell you I love you
And
I am torn to do what I have to
I
was born to tell you I love you
And
I am torn to do what I have to
To
make you mine, stay with me tonight
Tidak ada komentar:
Posting Komentar