17 Mei 2012

Bintang tak bersinar



Sudah dua tahun aku mengenal cowok itu, sejak kelas 1 SMA. Ia memiliki nama yang aneh menurutku, panggil saja dia Bintang. Dia adalah cowok yang pendiam, kemana-mana suka menyendiri, antisosial (gak terlalu sih), dingin, bermuka datar, dan menurutku semua itu adalah sifat paling menjengkelkan. Namun, jangan dikira, diam-diam banyak yang naksir padanya. Memang sih, aku akui dia lumayan gantengnya, tinggi, dan denger-denger dia punya IQ diatas rata-rata. Itu terbukti dengan prestasinya, tidak hanya dikelas, namun hampir semua olimpiade di sekolah diikutinya. Wah, kalau aku sih, satu olimpiade saja masih ogah-ogahan.
”Hoi, kenapa lo?”
Aku melirik Dita, teman nakalku dikelas. ”Bisa gak sih lo gak gebuk punggung gue. Kalau dateng sekolah itu ngucapin salam kek, Assalamualaikum, atau selamat pagi, atau apalah gitu, bukan dateng diem-diem kayak orang nguntit.”
Ia mengacak-acak rambutku, ”Ih, siapa juga yang mau ngungtit lo? Sori deh sori. Lagian, pagi-pagi lo ngeliatin apaan sih?”
Aku membenarkan rambutku yang sudah susah-susah aku ikat kebelakang. Dita duduk di sebelahku. Menirukan apa yang aku lakukan tadi, meletakkan kedua tangan diatas meja dengan dagu bertopang diatasnya. Tidak sampai tiga detik ia berkata, “Oh, aku tahu! Lo ngeliatin cowok mister...”
Dengan sigap aku menutup mulut Dita dengan telapak tanganku, lalu berbisik, ”Bisa gak sih lo memperkecil suaramu yang gede itu? Malu tahu!”
Dita mengangguk pelan. Aku melepas telapak tanganku dan menghembuskan nafas panjang.
”Lintang, dari tadi lo ngeliatin si cowok resek itu?” Tanya Dita dengan suara ‘sedikit’ lebih rendah dari tadi.
Aku mengangguk, ”iya, emang napa? Lagipula, bisa gak sih lo gak ngatain dia resek? Dia kan juga manusia, hargai dikit kek.”
Dita menganga lebar, ia meletakkan telapak tangannya di atas dahiku, ”Lo gak lagi sakit kan?”
“Gue gak sakit.” Jawabku mantap.
Ia menurunkan tangannya, menatapku dengan selidik-menyelidik, “Lo naksir ya sama Bintang?”
“Haaaaaah? Mana mungkin! Gaklah!”
Dita menggelengkan kepalanya, “Trus, ngapain lo ngeliatin dia melulu? Bukannya cewek yang sikapnya kayak gitu artinya dia lagi naksir sama cowok?”
“Tidak.” Aku melihat Bintang yang duduk di bangku pojok depan, ”Aku cuma heran saja, cowok kayak gitu kok banyak yang naksir ya?”
Dita ikut-ikutan melihat Bintang, ”Lo kayak gatau saja, cowok kayak gitu sih pasti banyak yang suka. Aku heran, otak cewek itu ada di atas apa dibawah sih, suka sama cowok yang begituan?”
Aku angkat bahu, ”Mana gue tahu. Aku saja gatau seorang cowok yang sebenarnya itu bagaimana. Bisa saja kan cuman bagus dari covernya doang?”
”Makanya, jadi cewek itu jangan ngejomblo terus. Cari cowok gitulah.”
Aku mencibir, ”Lagi gak mood sama yang kayak gituan.”
”Oh ya? Ati-ati loh lo bakal kecantol sama cowok, misalnya saja lo nyantol sama Bintang.”
Aku mengangkat wajah, menatap Dita dengan alis terangkat, ”Apa?”
Dita masih terus berkata. ”Iya kan? Kalo hal itu beneran terjadi, gue jamin sekolah ini bakalan gempar.”
Aku meletakkan kedua siku diatas meja dan bertopang dagu, ”Mana ada yang kayak gitu.”
***
Seperti biasa, pulang sekolah aku langsung jalan kaki. Jarak tempatku kost dan sekolahku cukup dekat. Dita sendiri pulang bersama Joe, pacarnya.
Makanya, jadi cewek itu jangan ngejomblo terus. Cari cowok gitulah.
Entah kenapa, aku terpikirkan oleh kata-kata Dita tadi pagi. Apa memang ini sudah saatnya buatku cari cowok idaman?
Aku menggeleng-geleng sendiri. Untuk apa sih aku mikirin hal-hal gak penting kayak gituan?
Aku tersadar jika aku berjalan sambil melamun. Dan sialnya, aku melangkah ke jalan alternatif yang sama sekali gak kusuka karena beberapa faktor, salah satunya preman. Aku pernah dengar dari ’bisik-bisik tetangga sekolah’ jika gang ini banyak premannya. Itulah alasan dari dulu aku gak pernah lewat jalan ini kecuali memang dalam keadaan darurat. Pernah sekali, tetapi beramai-ramai dengan beberapa teman kelasku karena saat itu mereka mendesakku untuk melewati jalan yang lebih cepat
Aku membalikkan badanku ketika seorang lelaki botak sudah berdiri didepanku, entah sejak kapan. Ia agak tinggi dariku. Entah kenapa perasaanku jadi gak enak. Aku berbalik badan lagi. Kali ini seorang laki-laki dengan rambut berantakan, memakai kaos tanpa lengan hingga seluruh tato di kedua lengannya kelihatan. Jantungku berdetak cepat, tubuhku bergetar. Mereka tersenyum sinis terhadapku. Aku jongkok, melewati celah kosong yang ada dibawah dan berlari kabur. Aku benar-benar berlari tanpa arah hingga aku masuk ke jalan buntu. Aku menengok ke belakang. Mereka masih ada.
”Sekarang kau tidak bisa lari lagi manis, ayo kemari.” Ucap lelaki yang berkepala botak, merayuku seperti aku ini hewan peliharaan. Aku berteriak minta tolong, namun percuma, tak ada yang datang.
”Tak akan ada yang bisa mendengarmu sayang.” Kata lelaki bertato. Suaranya terdengar berat dan menakutkan. Aku tersandar di dinding dengan harapan akan ada yag datang menolong, meskipun aku tahu itu mustahil. Aku benar-benar ingin menangis. Aku benar-benar takut. Mereka berdua semakin dekat dan aku tak bisa berbuat apapun.
Aku terduduk dan menundukkan kepala. Kututup kedua mataku, sampai disinikah aku akan berkhir konyol seperti ini?!
Aku mendengar salah satu dari mereka berteriak, disusul oleh suara orang berkelahi. Ada apa?
Perlahan aku membuka kedua mataku dan mengangkat wajahku.
”Bodoh.”
Kedua mataku terbelalak melihat laki-laki berseragam SMA yang sangat aku kenal. ”Kenapa lo ada disini?”
Ia diam, dengan raut wajah tetap datar seperti biasanya. Luka-luka membiru mulai tampak di beberapa titik di wajahnya. Aku menengok ke belakang. Salah satu preman itu berlari ke arah Bintang dengan menggenggam batangan kayu. “Awas!”
Bintang menengok ke belakang, ia menghalangi pukulan keras dari preman itu dengan sebelah tangannya hingga batang kayu terbelah menjadi dua. Bintang memukul bagian perut preman itu dengan sekali sentakan hingga ia terkapar. Bintang meraih lengaku dan membawaku berlari pergi. Aku sempat melihat tangannya membekas sebuah luka panjang, bekas pukulan preman itu. Setelah dikira aman, kami berhenti melangkah.
“Bintang, sori, tapi tangannya...”
Bintang melihat tangannya yang menggenngam tanganku, dan ia segera melepasnya. ”Maaf.”
Aku menggeleng, “Seharusnya aku yang minta maaf. Kenapa tadi kamu ada disana?”
Kau tak perlu tahu.” Jawab Bintang dingin, tanpa melihatku. Ia menggenggam lengannya yang terluka. Aku mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasku, aku basahi dengan air mineral milikku yang tersisa, ”Sini lenganmu.”
Agak ragu ia menunjukkan lengannya yang terluka. Aku mengikatkan sapu tanganku di atasnya. ”Setidaknya ini buat pertolongan pertama.”
Ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku membiarkannya meski sebenarnya aku agak jengkel juga. ”Selesai.”
”Aku yakin kau tak akan memberitahuku dimana rumahmu, jadi aku akan pulang duluan. Sampai jumpa esok.”
Aku meninggalkan ia disana begitu saja. Biarlah, ntar juga dia juga ikutan lenyap.
”Asal kau tahu, rumahku dekat dengan tempatmu tinggal.”
Aku berhenti melangkah, ”Apa?”
***
”Lintaaaaaang, lo ngapain kemareeeen.”
Dengan malasnya aku menoleh ke arah Dita yang datang tergopoh-gopoh, langsung ambil tempat duduk, ”Lo kemaren jalan bareng Bintang?”
Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibir Dita, ”Jangan keras-keras.” aku melirik Bintang yang tetap duduk di bangkunya tanpa ada reaksi apapun. Aku mengusap dadaku, lalu menyipitkan kedua mataku, ”Darimana kau tahu?”
Dita meringis, ”Gosipnya udah nyebar. Ada kakak kelas yang melihat kalian berdua pulang bersama, apa bener?”
”Iya iya dan iya. Lagian kenapa sih, biasa saja, gak usah sampai berkoar-koar kayak gitu.”
”Bagaimana ceritanya lo sampe bareng jalan sama dia?”
Aku menceritakan semuanya, tanpa ada yang terlewat.
”Kok dia tahu kau ada disana?”
Aku angkat bahu, ”Mana kutahu.”
”Lalu, kalian sempat berbicara?”
Bola mataku berputar, ”Sedikit banget. Satu-dua patah kata. Gak lebih.” aku sama sekali tidak lupa dengan peristiwa itu, jalan kaki tanpa ada pembicaraan sama sekali. Jikalau berkata pasti aku dulu yang mulai. Itupun dijawab jika memang harus dijawab, jika bukan pertanyaan penting, ia pasti akan mengunci rapat mulutnya.
”Dimana sih rumah cowok itu?”
”Aku gak tau detailnya. Yang kutahu hanyalah gangnya yang gede bersebelahan dengan tempat kos ku yang emang terletak di tepi jalan raya.”
”Oh ya? Tapi setahu gue sih, dia naik motor kalo pulang-pergi sekolah.”
Aku menggelengkan kepalaku, ”Lo naksir ya sama si Bintang?”
”Apa? Mana mungkin aku naksir sama dia. Lagian gue tetep setia kok sama Joe.”
”Iya deh iya, yang tetep setia...”
Dita terkekeh, ”Ati-ati loh, sedikit gosip, pasti akan ada peristiwa yang gak-gak.”
”Gue tahu. Setiap peristiwa pasti akhirnya bakal ada akibatnya kok.”
***
Sesuai dugaan, dalam waktu tak kurang dari seminggu di kolong mejaku selalu terisi satu atau dua surat gak jelas dibungkus amplop hitam. Bukan malah ngeri, tapi aku malah terkekeh sendiri dengan surat-surat itu. Seperti inilah contoh isinya.
Lo jangan kecentilan deh, sok deket sama Bintang!
Atau yang lainnya,
Mentang-mentang lo sekelas sama Bintang, jangan harap lo bisa ngerebut dia dari tangan gue!
Dan surat-surat yang lainnya. Aku sih sama sekali tidak peduli, karena aku yakin itu hanyalah ancaman biasa. Dita yang sempat cemas dengan keadaanku, aku menyakinkan dia jika aku baik-baik saja.
”Lo mau kemana?” Tanya Dita, ketika aku beranjak dari tempat dudukku dengan dua buah buku berada dipelukanku. ”Gue? Mau ke perpus?”
”Gue temenin ya?”
Aku menggeleng, ”Gaperlu. Aku gakpapa kok. Itu kan hanya ancaman biasa Dit. Lagian lo kan anti banget sama yang namanya perpustakaan. Gue cabut dulu.”
Aku melangkah santai keluar kelas menuju perpustakaan di lantai dua, meskipun aku tahu ada mata-mata singa betina yang mengintai, cuek sajalah.
Baru melangkah ke perpustakaan, aku melihat sekitar dan kedua mataku menangkap seorang cowok duduk di kursi dengan buku tebal diatas meja. Aku heran, si Bintang itu kok gak kena minus ya baca buku, entah apa judulnya, setebal itu?
Aku mengincar buku Fisika, banyak yang belum aku mengerti dari penjelasan Pak Hari, seenggaknya aku membaca sedikit, syukur-syukur deh jikalau aku mengerti.
Aku mengambil tempat duduk, membuka buku dan mencoba mengerjakan soal latihan yang semakin lama membuat kepalaku pening.
”Ini bukan pakai cos, tetapi sinus.”
”Eh?”
Aku mengedipkan kedua mataku, sejak kapan Bintang duduk disampingku. ”Mana pensilmu.”
”Kau mau apa?”
Bintang menyipitkan kedua matanya, ”Aku tak tahan melihatmu terus-terusan menggaruk-garuk kepala. Itu menjijikkan.”
Apa katanya? Sungguh, aku ingin menjotos cowok ini. Tetapi, dia melihatku? Untuk apa dia melihatku?
”Mau tidak aku ajarin?”
Jangan menolak rezeki yang datang, dengan mantap aku mengangguk. Ia terus menjelaskan jawaban dari soal latihan yang belum kupahami serta ia juga menjelaskan kembali pelajaran yang belum aku mengerti benar. Hingga tidak terasa bel sekolah berbunyi dan semua ini harus berakhir.
”Thanks ya Bintang, gue jadi tertolong nih.”
Bintang tidak berkata apapun. Biarlah, dia emang kayak gitu, mau diapain lagi?
Aku menatap punggungnya yang lebar hingga ia menghilang dari pandangan. Ia memang seperti itu, tapi kurasa dia orang yang baik.
***
Hari ini aku ada ekstrakulikuler sehingga aku pulang agak sore dan sekarang sekolah sudah sepi. Aku terap berjalan santai seperti biasa meskipun perasaanku tidak nyaman sejak keluar dari ruang kumpul ekstra jurnalistik. Aku terus berjalan dan tidak menyadari jika ada seseorang dibelakangku, menyiramku dengan air bau kemudian tepung dan telur busuk. Aku membalikkan badan, dan melihat tiga orang cewek tersenyum sinis terhadapku.
“Ih, kasiannya cewek ini.” Kata salah satu dari mereka, berambut hitam ikal, lebih tinggi dariku. Ia memegang kedua pipiku dan sedikit menekannya.
“Makanya jadi cewek itu jangan kecentilan.” Ujar dari cewek yang lain, diikuti oleh cewek berambut pendek, ”Jadinya kan seperti ini.”
Perempuan yang menekan pipiku langsung mendorongku hingga aku terduduk menahan sakit, ”Apa sih bagusnya lo, sampe-sampe lo bisa deket dengan Bintang? Atau jangan-jangan lo pake dukun ya buat deketin dia?”
Sungguh, aku ingin sekali memukul mereka. Namun aku terlalu takut dan sekarang aku hanya bisa menahan tangis. Aku benar-benar terpojok karena mereka menyebar mengeliliku hingga aku tidak mempunyai kesempatan untuk keluar. Dan anak-anak lain yang masih ada disekitar sekolah tampaknya gak bisa berbuat apapun selain hanya melihat.
”Bisa tidak kalian menyingkir dari sana?”
Suara itu...
Bintang menerobos mereka bertiga, melepas jaket yang dipakainya dan digunakan untuk menutupi diriku. Ia menggenggam bahuku dan membantuku untuk berdiri. ”Sekali lagi kalian melakukan hal seperti ini, jangan salahkan aku jika aku bertindak keras terhadap kalian. Dan satu hal, jangan ganggu Lintang lagi. Kuharap kalian mau memahami hal itu.”
Suaranya terdengar biasa dan datar, namun kalimat itu beanr-benar membuat sekitar menjadi hening. Ia membawaku pergi ke taman kecil yang berada di samping sekolah. Menyuruhku duduk di bangku coklat yang berada di bawah pohon rindang dengan beberapa dedaunan yang berguguran diterpa hembusan angin sore. Ia mengeluarkan sebuah sapu tangan biru dari dalam sakunya dan melap wajahku dengan sapu tangan itu. ”Maaf, karena aku, kau jadi seperti ini.”
Aku tersenyum, ”Tidak kok. Udah resikonya. Kau benar-benar populer ya disekolah ini.”
”Aku hanyalah seseorang yang terlihat bersinar dari luar, namun sebenarnya aku gelap dari dalam. Aku hanyalah seorang penipu. Aku bukanlah Bintang seperti bintang yang ada di langit.”
Aku tak mengerti dengan ucapan orang ini, ”Apa maksudmu?”
”Lupakan saja.”
Ia beranjak dari duduknya, ”Bagaimana kau mau pulang?”
”Aku? Ya jalan kaki kan seperti biasa.”
”Mamalukan.” Ia berdiri dihadapanku, ”Aku akan mengantarmu pulang.”
”Hah?”
***
”Lo bener-bener baik-baik saja?”
Aku memasang headset yang sejak tadi aku cari. Tanganku benar-benar lelah memegang ponsel dan telingaku mulai terasa panas, ”Iya, aku gakpapa kok dit. Darimana lo tahu gue diguyur sama Rena cs?”
”Sita bilang ke gue. Huh, kalo gue jadi lo, pasti udah gue jotos deh.”
Aku tertawa, “Ada-ada saja lo.”
“Lalu, gimana cara lo pulang? Gak mungkin kan lo pulang jalan kaki dengan keadaan kayak gitu.”
“Bintang nganter aku pulang pake mobilnya.”
Aku melepas headsetku sesaat dan kembali memakainya, “Bisa gak kalo kaget jangan sambil teriak?”
Dita terkekeh, “Kok keren banget?”
Apaan sih? Biasa saja kali non. Eh, kata lo Bintang ke sekolah bawa motor? Tapi kok ini...”
”Oh, dia juga bawa mobil kok.” Jelas Dita memotong ucapanku, ”Kadang-kadang. Tapi Bintang itu kok seperti jadi dewa penyelamat dadakan lo sih?”
Aku melongo meskipun aku tahu Dita tidak melihatnya, ”Maksud lo?”
”Iya. Tempo hari dulu dia nyelametin lo dari amukan preman, sekarang udah ngajarin lo fisika, ditolongin lagi dari amukan Rena cs. Dan semua perisiwa itu lo sama sekali gak kepikiran yang nyelametin lo itu si cowok es itu.
Aku tertawa, ”Jangan-jangan dia udah ketularan sifat nguntit lo, Dit.”
”Sialan lo.”
”Kalo gitu udahan dulu ya. Aku mau pergi ke suatu tempat.”
”Kemana? Kenapa kamu kayaknya main rahasia-rahasiaan sih sekarang?”
Ni anak emang selalu membuatku kehilangan kata-kata, ”Ke rumahnya Bintang.”
Sekali lagi aku melepas headsetku dan memasangnya kembali, ”Gue minta dia ngajarin gue beberapa mapel yang belum gue pahami.”
”Alasan lo itu, pasti lo pengen ngeliatin dia.” Canda Dita sambil tertawa.
“Gaklah. Ngapain? Naksir aja nggak.”
”Ah masa’ sih? Emang naksir kan gak harus sekarang Lintang. Tapi ntar. Nanti. Yaudah deh, pergi sana.”
”Ngusir nih ceritanya? Hahaha, okelah. Udah dulu ya Non, Assalamualaikum deh. Met malem.”
***
Sejak saat itu penyiksaan Bintang terhadapku dimulai. Ia hanya mengajariku sebentar, kemudian memberiku bertumpuk-tumpuk tugas. Sebulan saja map milikku sudah penuh. Ditambah lagi hanya menjelaskan soal latihan yang benar-benar paling sulit. Awalnya aku sebal dan ingin berhenti, namun itu hanya ucapan, aku tetap bertahan dan akhirnya terbiasa. Semua itu terjadi beberapa bulan dan hanya Dita yang tahu. Hingga pada saat ujian akhir semester pertama datang, beberbeda dengan biasanya, aku dapat mengerjakannya dengan baik dan memperoleh hasil yang memuasakan. Bahakan tanpa aku inginkan, aku masuk peringkat ke-5 dikelas. Aku mengira ini hanyalah mimpi, aku meminta Dita mencubit pipiku dan itu rasany sakit. Bukan mimpi, tapi nyata.
Ujian yang berlalu, digantikan oleh rencana teman sekelas pergi berlibur ke Villa milik Dita yang berada di tepi pantai dan menginap disana selama 5 hari. Tak ada peristiwa yang mengesankan, kecuali satu hal...
***
Hari ke 3, Malam hari di hari libur.
Aku duduk sendiri di tepi pantai, menatap bintang-bintang yang bertaburan dilangit. Tak ada suara manusia, yang ada hanyalah suara dari deburan ombak pelan. Kulipat kedua siku lututku dan memeluknya. Bodoh, kenapa aku gak memakai jaket?
“Ngapain kau disini?”
Aku mengangkat wajah, Bintang menatapku dengan tampang datarnya, ia mengambil tempa duduk di sampingku. Ini benar-benar gila, kami tidak pernah seperti sekarang ini kecuali disaat belajar bersama. Itupun kadang ada Ibu Bintang yang sifatnya 360 derajat berbeda dengan anaknya.
”Kau melihat bintang atau melihat laut?”
”Hmm...dua-duanya. Tetapi aku lebih suka melihat bintang, habis lautnya gelap.”
”Begitukah?”
“Lo sendiri ngapain disini? Pake acara bawa gitar segala.” Kataku ketika aku menyadari ada sebuah gitar disamping tempat Bintang duduk.
”Tidak. Aku hanya ingin membawanya.”
”Aneh.”
”Apanya yang aneh?”
Aku menggeleng. ”Lupakan saja.”
”Aku ingin mengucapkan maaf padamu.”
Aku menoleh, menatap Bintang yang juga melihatku. Ada apa dengan anak ini? ”Minta maaf? Buat apa?”
”Karena aku, kau jadi selalu susah.”
Aku menggeleng, ”Enggak kok. Dari dulu aku selalu berprinsip jika setiap peristiwa pasti ada akibatnya, dan ada hikmahnya. Itu saja. Lagipula, hidup ini harus dijalanin dengan ikhlas dan? Terus maju ke depan?”
Bintang tersenyum. Aku menutup mulutku, aku benar-benar terkejut. Senyumannya itu adalah senyuman yang pertama kulihat.
Lintang, kau tahu? Kau lebih tegar daripada aku. Kau lebih dari bintang yang bersinar diatas sana, sedangkan aku hanyalah seperti lautan yang hitam hingga ujung sana. Jikalau hidupku panjang, mungkin aku tidak seprti sekarang. Sayangnya, hidupku tidak sepanjang itu.”
Aku menjulurkan kakiku hingga tertimpa air pasang, ”Hidup kan hanya Tuhan yang tahu. Kita tidak boleh menyerah begitu saja pada hidup yang mungkin semakin sulit. Lagian, aku ingat kau pernah bilang jika kau ini penipu kan? Kau bukan penipu, tetapi kau terpaksa menipu karena suatu hal, meskipun aku tahu apa alasanamu melakukan itu...”
Aku menghembuskan napas panjang, dan melanjutkan, ”...Tetapi aku yakin kau laki-laki yang baik,
Meskipun kadang kau menyebalkan sekali. Selama mengenalmu saja, aku sudah mengalami banyak hal. Dan tahu tidak, ini pertama kali dalam sejarah hidupku aku dekat dekat cowok sepertimu, dan aku mensyukurinya.”
”Kau ini terlalu naif.”
Aku mencibir.
Ia mengambil gitar dan memulai memainkannya, ”Anggap saja ini adalah balasan atas ucapan maaf dariku.”
Ia mulai menyanyikan sebuah lagu, aku tidak terlalu mengerti lagu Barat, yang ini aku tahu. Seconhand Serenade-Your Call. Sungguh, suaranya benar-benar menyentuh. Aku menutup kedua mataku. Entah mengapa, aku kembali mengingat kenanganku bersama Bintang. Aku meletakkan daguku diatas kedua lipatan siku kakiku yang kupeluk. Tidak terasa, malam ini aku benar-benar bisa bersama dengan Bintang dalam keadaan lepas. Meskipun aku tidak tahu dia yang sebenarnya dan rahasia yang ia sembunyikan.
Tanpa terasa malam itu benar-benar terasa singkat, namun mengenang. Ia beranjak dari tempat duduknya, melepas jaket yang dipakainya dan memakaikannya padaku. Kemudian ia berbalik badan, ”Lintang, aku benar-benar senang dapat mengenalmu meskipun itu hanyalah sesaat. Setelah ini, aku harap kau bisa melupakanku dan semuanya agar kau tidak rapuh.” Ujarnya sebelum ia benar-benar pergi dari tempat ini. Aku tidak mengerti apa maksud ia mengatakan semua itu, namun aku merasa akan ada sesuatu yang terjadi dan aku sama sekali tidak mengharapkan hal itu benar-benar terjadi.
***
Aku benar-benar tidak ingin terjadi hal ini. Aku tidak menginginkannya. Sudah lebih dari empat bulan bangku itu kosong. Secara tiba-tiba Bintang pindah sekolah tanpa alasan dan tanpa pamit juga. Tidak hanya itu, rumah tempat tinggal Bintang telah ditempati oleh orang lain. Sejak saat itu pula, aku merasa benar-benar ada yang hilang dariku. Apakah ini yang ia maksud dari kata-katanya di malam itu?
Setelah ini, aku harap kau bisa melupakanku dan semuanya agar kau tidak rapuh.
Awalnya aku sama sekali tidak merasakan kerapuhan, namun seiring berjalannya waktu, kerapuhan itu muncul tanpa aku kehendaki.
”Lintang, makan yuk. Biasanya kan lo hobi langsung cabut ke kantin.”
Aku menggeleng pelan, menumpukan kepalaku diatas kedua tanganku yang kuletakkan diatas meja, ”Tidak deh. Gue lagi gak mood nih.”
Dita menyentuh bahuku, ”Udah dong Lin, mau sampe kapan sih lo kayak gini? Hanya gara-gara Bintang gak ada. Cowok di dunia ini kan gak hanya satu.”
Aku mencoba tersenyum, mengangkat kepalaku, menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong, ”Gue tahu, sangat tahu. Tetapi karena dia, gue mendapat warna baru dalam hidup gue. Awalnya gue gak menyadari hal ini, tetapi aku udah telanjur suka sama dia.”
Aku menggigit bibir, ingin sekali rasanya menangis. ”Bagaiman dia dengan mudahnya bilang kayak gitu mengatakan aku harus ngelupain semuanya.”
”Mungkin dia udah tahu Lin, dia tak ingin bikin lo sedih dan mengingat semua kenangan yang udah terjadi. Mungkin dia takut jika dia pergi, lo bakal sedih.”
Tapi kenapa dia gak bilang pada gue alasan dia pergi Dit? Kenapa?” Aku mulai terisak.
”Sekali lagi gue bilang, dia gak pengen lo sedih.”
”Tapi perbuatannya ini malah sebaliknya, bikin aku sedih Dit.”
Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, ”Dita, apa gue salah ya jika aku mulai terjatuh pada Bintang? Apa Tuhan gak ngizinin gue buat jatuh padanya?”
Dita memelukku erat, ”Jangan nyalahin Tuhan. Lo gak salah, sama sekali gak salah jika lo udah telanjur jatuh pada Bintang, tapi mungkin Tuhanudah ngerencanain yang terbaik buat lo dan buat Bintang. Sebuah rencana yang mungkin Bintang udah tahu, tapi belum saatnya untuk kamu ketahui.”
***
Tiga hari kemudian adalah hari besar untukku karena aku masuk umur ke tujuh belas tahun. Seperti biasa, pulang sekolah aku langsung dikerjain habis-habisan, disiram air, tepung, dan telur oleh teman-teman sekelas. Tentu saja, pelopornya adalah Dita. Untung aja deh mereka gak minta traktiran.
Hampir sejam aku berada di kamar mandi di sekolah. Beruntung aku membawa baju ganti, sabun mansi, dan empat sachet sampo yang harganya lima ratus rupiahan.
”Lin, ponsel lo bergetar dua kali.” Kata Dita ketika aku keluar dari kamar mandi. Ia menyerahkan ponselku yang memang kutitipkan pada Dita. Satu SMS dan satu MMS. Aku membuka MMS terlebih dahulu, gambar taburan bintang dari langit. Kemudian Aku membuka SMS yang masuk.
Happy Birthday untuk bintang paling bersinar.
Tunggu dulu...Bintang paling bersinar?
”Dita...”
”Hm?”
”Dia Dit, dia, apa maksud dia mengirimku pesan seperti ini Dit?”
Dita langsung mengerti apa maksud dari ucapanku. Aku kembali terisak, kenapa dia muncul lagi setelah hilang tanpa memberi kabar apapun?
“Coba deh lo miscall nomor itu.”
Aku mengikuti saran Dita. Ku miscall nomor telepon yang megirimku pesan tersebut. Aku menggeleng, “Tidak aktif.”
Dita tersenyum tipis, “Sabar ya.”
Aku mengangguk pelan. Kutatap ponselku yang masih menyala, entah mengapa, aku merasa dia masih ada disini.
***
“Bu, mau pinjam buku ini.”
Aku menyerahkan 2 buku yang ingin aku pelajari di tempat kos. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin menanyakan suatu hal, ”Bu, apakah saya boleh menanyakan sesuatu?”
”Silakan. Apa yang bisa saya bantu?” kata petugas perpustakaan itu tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputernya.
”Kalau boleh tahu, Bintang, anak yang pindah dari sekolah ini, itu sering meminjam buku....”
”Oh, Bintang yang sering kesini itu?” Kata petugas tersebut memotong ucapanku, ”Setahu saya, dia sering membaca buku biologi tentang organ dalam. Itu buku yang ada disana.” Kata pertuga perpustakaan sambil menujuk buku tebal yang letaknya di barisan rak paling bawah. Organ dalam? Apa dia ingin menjdi dokter?
Aku mengambil buku itu, dan mulai membukanya. Sebuah kertas yang terselip dari dalamnya jatuh ke lantai. Aku mengambil kertas itu. Ada isinya, dan aku tahu, itu adalah tulisan Bintang. Kanker Otak?
”Nona Lintang, bukunya...”
Aku mengangkat wajah, ”Oh, iya Bu. Maaf.”
Aku melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku seragamku. Aku membaca isi kertas itu, dari awal sampai akhir semua tentang rangkuman penyakit kanker otak. Aku tetap tidak mengerti. Untuk apa Bintang menulis hal seperti ini?
Aku melangkah keluar gerbang ketika seorang anak permepuan berambut pendek seleher, memakai seragam putih abu-abu dengan badge di lengan kanannya berbentuk angka romawi ’X’
dan berkacamata menghalangi langkahku, ”Kakak yang bernama Lintang ya?”
***
”Apa? Gak, gak mungkin. Adik bohong kan?”
Perempuan yang tadi menghalangiku, yang tidak lain adalah adik dari Bintang, menggeleng pelan, ”Untuk apa aku berbohong tentang kakakku sendiri? Kakak memang mengalami kanker otak, dan sekarang sudah mencapai sadium akhir. Dokter memvonis jika hidup kakak sudah tidak lama lagi.”
Dunia terasa runtuh seketika. Apa-apaan ini? Jadi karena inikah maksud dari semua kata-kata yang Bintang ucapkan untukku, kata-kata yang sulit untuk kupahami maknanya? Karena inikah Bintang pindah dari sekolah?
”Apa kakak tidak pernah tahu tentang hal ini?”
Aku menggeleng lemah, ”Aku tidak tahu, karena sifat dasarnya seperti itu, dia tak pernah memberitahuku. Aku pernah mencurigai satu hal tentangnya, ia sering sekali memegang kepalanya ketika aku dan dia belajar bersama.”
”Dulu kakak gak seperti itu. Sifatnya berubah sejak Dokter memvonis dia terkena penyakit itu waktu SMP kelas dua.”
Aya, adik Bintang mengambil nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan, ”Aku baru tahu hal ini ketika kakak bercerita padaku secara pribadi. Kakak menyuruhku untuk tidak bilang siapapun, bahkan Mama juga terlambat mengetahuinya.”
”Tetapi aku jarang melihatmu dirumah?”
”Memang. Letak sekolahku dengan Rumah cukup jauh, aku kos di kompleks yang dekat dekat sekolah. Apa kakak tahu? Kak Bintang sering sekali bercerita tentang dirimu. Padahal, dulu ia sama sekali gak pernah dekat dengan cewek...”
...Dia memang gak bilang suka, tapi aku bisa melihat binar matanya dan senyumannya, meskipun tipis sekali, hingga aku tahu kak Bintang suka sama kak Lintang. Ia juga yang menyuruhku untuk memberi ucapan selamat padamu karena sekarang ia sudah terbaring lemah di rumah sakit. Aku diam-diam mengatakan semua ini karena aku juga tahu, kak Bintang merindukanmu. Buktinya ia bisa bertahan hingga saat ini, padahal Dokter sudah memvonis dia dua minggu yang lalu sudah tak ada harapan untuk hidup. Aku rasa, ia menunggumu.”
Aku menundukkan kepalaku, kedua tanganku terlipat di dada. Kau bodoh Bintang, kau bodoh!
Aku memaksa untuk berbicara meskipun tenggorokanku sekarang terasa tercekat, ”Aya, bisa kau beritahu, dimana ia dirawat?”
***
Aku berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit, tak ingin ambil pusing, aku menuju lantai tiga, tempat Bintang dirawat menggunakan anak tangga. Lelah sama sekali tak terasa apa-apa untukku. Tujuanku hanyalah satu, Menemui Bintang!
Aya juga mengikutiku, karena aku terlalu tergesa-gesa, Ayalah yang kena imbasnya. Salah satu kakinya salah menginjak tangga sehingga ia terkilir. Aku mengangkat wajah dan kembali menuruni tangga, ”Aya, kau baik-baik saja?” Tanyaku cemas. Kenapa aku sampai lupa jika ada Aya yang mengikutiku?
Aya mengangguk pelan, ”Aku baik-baik saja kak. Hal ini sama sekali tidak penting. Yang lebih penting sekarang adalah kak Bintang. Kau harus menemui dia sebelum terlambat.”
”Tetapi...”
Tiba-tiba aku merasa perasaanku sama sekali tidak nyaman. Ada apa ini sebenarnya?
”Kakak pergi duluan saja. Aku akan menyusul. Tempat kak Bintang dirawat ada di kamat VIP nomor 20.”
Aku mengangguk. Maaf Aya, aku benar-benar minta maaf.
Aku melangkahi anak tangga dan berlarian di koridor rumah sakit tanpa memperhatikan orang-orang yang aku tabrak. Lagi-lagi aku membuat kekacauan dengan menabrak seorang nenek yang sedang asyik dengan dompetnya. Akibatnya, semua uang recehan yang berada didalamnya jatuh berserakan di lantai. Aku memungutinya satu persatu, entah itu sudah lengkap atau tidak, aku memasukkan seluruhnya ke dalam dompet nenek tersebut, ”Maaf ya...nek...”
Suaraku merendah ketika kedua mataku melihat sebuah ranjang didorong keluar kamar oleh tiga orang perawat yang arahnya berlawanan dengan tempatku berdiri. Diatasnya mungkin ada seseorang yang sudah tak bernyawa, sangat mudah ditebak karena sudah tertutup oleh kain putih. Kemudian seorang dokter dan pasangan suami-istri (mudah ditebak) juga ikut keluar. Tampak sang istri tak kuasa menahan tangis dipelukan suaminya. Mereka membelakangiku sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya.
Aku sama sekali tidak berkedip melihat ranjang itu terus berjalan menjauh dan menghilang di tikungan. Bukan...Bukan...itu pasti salah, itu bukan Bintang, aku yakin sekali, itu bukan Bintang.
Aku terus melangkah meskipun kedua kakiku terasa berat seperti di tindih baja berat. Aku mencari kamar nomor dua puluh. Ketika aku mendapai kamar nomor sembilan belas, aku mengangkat wajah dan melihat pintu yang terbuka lebar. Aku menggigit bibir, bukankah ini adalah kamar tempat ranjang yang didorong oleh para perawat tadi?
Dengan menahan sejuta kerapuhan aku melihat nomor yang tertera di pintu. Dan pertahananku benar-benar hilang. Aku duduk lemas bersandar di pintu dengan kerapuhan di dalam hati berubah menjadi sebuah isakan dan tangisan. Bintang telah pergi...ia telah pergi...padahal aku belum mengatakan sepatah katapun, tetapi mengapa...
”Kakak...”
Aya berdiri di belakangku, duduk di sampingku, dan airmataku benar-benar mengalir deras, menangis dipelukannya.
***
Taburan bunga diatas sebuah gundukan tanah itu mengkahiri proses pemakaman. Didalam gundukan itu, terbaring seseorang yang wajahnya masih jelas di pikiranku. Satu persatu orang meninggalakan makam itu, hingga tempat itu benar-benar sepi. Sejak tadi aku terus bersembunyi di balik pohon, melangkah pelan keluar dari sana, menuju gundukan tanah itu. Aku menyuruh Dita untuk pulang terlebih dahulu, sedangkan Aya juga telah pulang setelah memberikan sebuah surat yang berada di dalam amplop cokelat, titipan dari Bintang disaat beberapa hari sebelum ia benar-benar pergi. Aku duduk disamping makam, dan memaksakan sebuah senyuman tersungging di bibir. Aku membuka surat itu ditempat ini, karena aku sengaja membacanya disini.

Dibatas hari-hari dimana aku tak akan ada di dunia ini kembali, kucurahkan seluruh isi hatiku dengan menggoreskan tinta hitam di atas kertas. Aku yakin kau pasti akan datang melihatku meskipun aku telah tertidur di bawah tanah sendiri. Kutitipkan surat ini pada Adikku Aya, beserta sebuah foto, semua tentang dirimu yang kuambil secara diam-diam dan aku sangat yakin kau tak akan menyadarinya. Aku selalu tersenyum jika melihat foto itu, aku selalu berharap aku dapat lebih mengenalmu lebih dari ini, namun aku masih sadar, itu adalah hal yag sangat mustahil.
Maaf, Aku telah membuatmu marah dan menyakiti perasaanmu. Semua itu terjadi begitu saja, sejak awal kelas satu SMA, aku mengenalmu. Aku mulai tertarik padamu. Awalnya aku mengacuhkan perasaanku karena aku sadar, aku tak akan pernah membuatmu bahagia. Tanpa aku inginkan, aku malah dekat denganmu, aku bodoh kan?

Semua berjalan seiring waktu, diikuti dengan penyakitku yang juga ikut memakan tubuhku, hingga mencapai stadium akhir. Aku selalu mencari alasan ketika kau melihatku memegang kepala. Aku tak ingin membuatmu cemas, dan aku meyakinkanmu jika semua ini akan baik-baik saja meskipun sebenarnya itu adalah sebaliknya.

Aku menemukan hari yang tepat sebelum aku benar-benar pergi. Aku melihatmu melangkah ke pantai sendiri di malam hari, dan aku mengambil kesempatan itu. Setidaknya aku bisa memberimu sebuah ucapan perpisahan meskipun kau tidak mengetahuinya. Aku mengatakan padamu untuk melupakan semuanya karena aku tak ingin membuatmu sedih karenanya. Aku ini benar-benar orang yang kegeeran.

Aku memilih pergi karena aku khawatir semakin lama kau pasti akan tahu aku, dan aku sendiri sama sekali tak ingin kau tahu siapa dan bagaimana aku yang sebenarnya. Aku berjanji tak akan melupakan semua kenangan itu. Kau lebih bersinar dariku, aku ini hanyalah laut hitam, bukankah begitu?

Dan aku ingin mengatakan sejujur-jujurnya padamu
Aku....mencintaimu.

# Jangan menangis, kau tak mau aku bersedih disana bukan?
Semangat! ^^

Ia menulis surat ini sambil menangis, aku tahu. Beberapa tulisan terlihat memudar, namun masih dapat dibaca. Aku mengamati foto-fotoku sendiri yang ia ambil secara diam-diam olehnya. Ada sekitar 5 lembar.
Apa kau tahu? Aku sebenarnya tak peduli dengan keadaanmu. Aku tetap menerimamu. Aku sudah telanjur jatuh padamu. Maaf, aku datang terlamabat, aku tak bisa melihat wajahmu untuk yang terakhir kali. Selalu saja, aku ini memang payah. Aku ini...memang payah sekali...andai aku menyadarinya...”
Aku tertunduk disamping gundukan dan menangis. Foto-foto itu kugenggam erat didepan dada. Entah berapa lama aku menangis, airmataku menutup mataku. Aku tertidur disana, ditemani oleh butiran air dari langit kelabu yang berjatuhan yang semakin lama semakin banyak menjadi hujan.

Kau tahu, kau bukanlah lautan hitam, yang hanya memantulkan sinar bintang hingga terlihat palsu diatasnya, namun dimataku kau benar-benar bintang, lebih bersinar dari berjuta-juta bintang dilangit sana.
Ketika aku melihat senyumanmu untuk pertama kalinya, kau menampakkkan sebuah ketulusan didalamnya. Aku benar-benar berharap kau akan menampakkan senyum itu kembali dihadapanku. Namun, aku tidak pernah menyangka jika senyumanmu disaat itu adalah senyuman yang pertama dan yang terakhir.
Izinkan aku menangis dan menemanimu disini. Untuk sekarang ini saja, kumohon biarkan aku egois, besok aku akan ceria kembali, tanpa menunjukkan guratan kesedihan dari raut wajaku. Bolehkah aku menjadi Bintang penggantimu, meskipun aku tahu, aku tak akan dapat bersinar melebihi sinar yang kau miliki?

-The End-


Lirik lagu Seconhand Serenade-Your Call

Waiting for your call, I’m sick, call I’m angry,
Call I’m desperate for your voice
I’m listening to the song we used to sing
In the car, do you remember, butterfly, early summer?
It’s playing on repeat, just like when we would meet
Like when we would meet

Cause I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to
To make you mine, stay with me tonight

Stripped and polished, I am new, I am fresh
I am feeling so ambitious
You and me, flesh to flesh
‘Cause every breath that you will take
When you are sitting next to me
Will bring life into my deepest hopes, what your fantasy?
What’s your, what’s your

I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to
To make you mine, stay with me tonight

And I’m tired of being all alone
And this solitary moment makes me want to come back home
And I’m tired of being all alone
And this solitary moment makes me want to come back home

And I’m tired of being all alone
And this solitary moment makes me want to come back home
And I’m tired of being all alone
And this solitary moment makes me want to come back home

I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to
I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to
To make you mine, stay with me tonight




Tidak ada komentar:

Posting Komentar