Pernah
tersirat dalam benakku
Andaikan aku adalah bunga dandellion
Yang tumbuh sendiri di tengah-tengah padang rumput yang luas tak terhingga
Ketika aku tumbuh masih menjadi kuncup
aku tak mengerti apa itu cinta
Hingga aku menemukan dandelion lain yang berdiri tegak
Diantara rerumputan itu
Saat itulah aku merasa menjadi bunga yang utuh
Perasaan apakah yang aku rasakan saat ini?
Apakah ini yang dinamakan cinta?
Namun aku tak menyadari
Jika disampingnya ada bunga lain yang tumbuh
dekat sekali dengannya
Dan segala yang aku rasakan mulai hilang
Aku menatap dandellion yang terus kugenggam
Bukanlah dandelion yang mekar dengan indah seperti dulu
Namun dandellion putih yang mudah rapuh
Dengan nafasku, perlahan aku meniup bunga dandelion itu
Menatap mereka yang mulai menyebar dan beterbangan di langit biru
Aku merasa, seperti itulah perasaanku
Bukan dandellion yang mekar yang indah, tetapi dandellion yang rapuh
Aku melipat tanganku di depan dadaku
Inikah rasa sakit itu?
Rasa sakit yang sama sekali yang sama sekali tidak aku inginkan kedatangannya?
<3
Andaikan aku adalah bunga dandellion
Yang tumbuh sendiri di tengah-tengah padang rumput yang luas tak terhingga
Ketika aku tumbuh masih menjadi kuncup
aku tak mengerti apa itu cinta
Hingga aku menemukan dandelion lain yang berdiri tegak
Diantara rerumputan itu
Saat itulah aku merasa menjadi bunga yang utuh
Perasaan apakah yang aku rasakan saat ini?
Apakah ini yang dinamakan cinta?
Namun aku tak menyadari
Jika disampingnya ada bunga lain yang tumbuh
dekat sekali dengannya
Dan segala yang aku rasakan mulai hilang
Aku menatap dandellion yang terus kugenggam
Bukanlah dandelion yang mekar dengan indah seperti dulu
Namun dandellion putih yang mudah rapuh
Dengan nafasku, perlahan aku meniup bunga dandelion itu
Menatap mereka yang mulai menyebar dan beterbangan di langit biru
Aku merasa, seperti itulah perasaanku
Bukan dandellion yang mekar yang indah, tetapi dandellion yang rapuh
Aku melipat tanganku di depan dadaku
Inikah rasa sakit itu?
Rasa sakit yang sama sekali yang sama sekali tidak aku inginkan kedatangannya?
<3
Setelah 2 tahun aku menunggu, akhirnya aku sekelas dengan
dia. Pada awalnya aku tidak percaya jika peristiwa yang aku anggap langka ini
benar-benar terjadi.
Dia, panggil saja dia Jo. Aku memang tidak pernah mengenalnya, tapi pertama kali aku melihatnya (secara tidak sengaja di kantin) kedua mataku tak pernah berhenti untuk tidak melihatnya. Meskipun tidak sekelas, aku sering melihatnya dari jauh. Diam-diam aku juga mencari informasi sendiri(tapi benar-benar tidak sendiri, dapet bantuan juga dari sohibku, Tia yang emang sau ekskul sama dia dan beberapa orang yang aku kenal). Sebenarnya aku tidak ahli dalam hal itu. Jujur, aku ini agak-agak pendiam dan cewk yang tak banyak bicara. Berbandik terbalik dengan Jo. Dia tampan(buktinya dia banyak yang naksir), pintar(dia ketua OSIS, tapi mau pensiun), rajin ibadah, ceria, friendly, murah senyum(aku pernah dapet lemparan senyumnya dan rasanya jadi melting point), dan masih banyak. Dimataku dia sempurna. Tapi diantara segala yang aku jabarkan itu ada yang ganjal. Aku merasa pernah bertemu dia di suatu tempat. Tapi dimana? Aku lupa, atau itu cuma halusinasiku saja?
Tapi…
“Cieeeh, sekarang sekelas nih ceritanya?”
Kedua mataku melebar ketika mendengar suara Tia yang super ‘tinggi’ itu menggema di dalam kelas. “Apa kamu gabisa ngecilin suaramu itu? Malu tau!”
Tia langsung ngeloyor duduk di bangku sebelahku yang emang kosong. “Buat apa malu? Ni kelas sepi kok. Pada istirahat semua. Termasuk si Jo...” (unuk kalimat yang terakhir Tia benar-benar memperkecil suaranya)
Aku mengeluarkan bekalku dari dalam tas. “Ngapain kamu ke kelasku?” Tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari kotak bekal.
“Jahat lo ya, mentang-mentang kita gak sekelas, trus lo sekelas sama sang doi, lo mau buang gue? Sakit ati gue.” Jawab Tia sambil meletakkan kedua tangannya di depan dada. Ih, gak banget deh. -___-
“Aku gak bakal buang kamu kok. Lagipula, aku hanya ‘ngefans’ sama Jo, gak lebih.”
“Ketahuan bohoooongnyaaa tuuh. Ra, mana mugkin orang ngefans itu sampe nyari informasi sedetail ituuu, termasuk sahabatnya sendiri dipaksa, hehe…”
“Jadi ceritanya selama ini kamu gak ikhlas? Hmm…banyak kan contoh orang ngefans sampai nyari informasi kayak gitu.”
Tia menggeleng, “Gue hafal lo Ra. Lo sohib gue sejak SMP. Lagipula, daridulu kan lo selalu ceria tentang anak kecil masa lalu lo yang gakbisa lo lupain itu. Apa tuh namanya… cinta monyet…”
“Apaan sih Ti?” Potongku. “Udah aku bilangin kan aku gak ad rasa sama Jo. Cuma sekedar…”
“Sekedar apa niih?”
Aku dan Tia memalingkan muka bersamaan menuju ke sumber suara barusan. Kedua mataku benar-benar melebar ketika aku melihat Jo sudah ada di daun pintu dengan senyuman lebar membuatku ingin menjambak rambutku sendiri*alay sepertinya.
Ia mendekat, memutar kursi yang berada di depan bangkuku, tepat di hadapanku. “Lagi ngobrol apaan nih? Ngegosip nih….Dosa loh.”
“Siapa juga yang ngegosip.” Jawab Tia, “Kami gak ngegosip.”
“Terus?”
“Ya gapapa sih. Cuma gue kangen sama Sera. Gakboleh?”
“Hmm…ya gapapa sih. Tapi, emang ada cewek sok kenal yang langsung bicara seenaknya sama pangeran yang tampan ini?”
Dasar kepedean. “Emang kamu cakep?” Tanyaku. Iseng dikit gapapalah, daripada ntar Jo curiga aku banyak diem dan gak ngoceh sama sekali kan?
“Lo? Kamu gatau Ra? Banyak loh yang naksir sama aku.”
Aku melongo, “Oh ya? Siapa? Jangan-jangan orang-orang transgender yang suka sama lo??” Tanyaku.
“Ya gaklah. Gue kan masih normal.” Jawabnya sambil nyengir.
“Lo Jo kan? Gue tahu tentang ketenaran lo. Termasuk cewek yang…” Tia melirikku “…naksir sama lo.”
Aku menginjak kaki Tia. “Aw.”
“Ada apa?”
“Gapapa. Gue Cuma ngerasa ada yang nginjek kaki gue tadi.”
Kedua mataku melebar. Ni anak benar-benar menyebalkan. “Tapi aku gak merasa nginjek kakimu. Apa cuma perasaanmu saja?”
“Hmm…mungkin saja.”
Jo mengulurkan sebelah tangannya. “Dari tadi gue pengen tahu nama lo?”
Tia bergeming. “Hah? Gue?” Tia menerima uluran tangan Jo, “Panggil aja gue Tia.”
Sekilas aku melihat mereka berdua. Kenapa aku merasa ada yang aneh dari Jo? Dan….
Kenapa aku merasa sakit?
<3
Aku sedang berjalan menuju perpustakaan sekolah sendiri. Awalnya pengen ngajak Tia. Tapi tuh anak langsung ngilang entah kemana.
Aku gak menghitung sudah berapa lama aku udah sekelas dengan Jo. Tapi, sejak sekelas dengan Jo perlahan aku bisa cepat akrab dengan dia. Dia sering nimbrung denganku dan Tia jika dia sedang tidak lagi sibuk. Semakin kami akrab, semakin aku merasa segalanya bersama Jo adalah hal yang biasa untukku. meskipun terkadang Tia suka menggodaku di depan Jo. Aku salting, tentu saja. Tapi Jo sepertinya tetap bersikap biasa saja. Dan malah terkesan menganggap segalanya itu adalah lelucon. Gatau lagi, kadang aku merasa ada yang berbeda dari sikap Tia dan Jo. Memang, kenyataannya Jo lebih dekat dengan Tia daripada aku. Kelihatan kok, Jo lebih sering menanggapi apa yang dikatakan Tia, banyolan Tia, dan apa ang menyangkut Tia.
Tunggu dulu, aku cemburu? Tidak.
Aku memukul-mukul kepalaku sendiri. Mana mungkin aku cemburu Untuk apa aku cemburu?
Aku tersenyum pada dirirku sendiri. Jo Cuma sahabat. Aku dan dia sekarang adalah sahabat. Perasaanku yang dulu terhadapnya hanya sekedar suka biasa. Gak pernah lebih dari itu.
Langkahku terhenti ketika aku melihat…Tunggu dulu? Apa aku Cuma berhalusinasi saja?
Bukan. Masalahnya apa yang ada di hadapanku adalah nyata.
Aku mundur beberapa langkah. Bersembunyi di dalam toilet. Diam untuk beberapa saat. Aku menggigit kuku ibu jariku.
Itu tadi…Jo dengan Tia kan?
<3
“Lo langsung pulang?”
Aku menatap Jo yang langsung duduk di sampingku. “Iya.” Jawabku.
Jo meletakkan telapak tangannya di dahiku. “Kamu sakit?”
Kedua mataku melebar, dengan cepat aku menurunkan tangan Jo dari dahiku, “Tidak. Aku baik-baik saja.” Bantahku.
“Tapi bukannya hari ini kita bertiga nonton bersama? Lo beneran gak mau ikut?”
Aku memutar otak, mencari-cari alasan, “Iya. Hari ini Bundaku mau ngajak aku ke suatu tempat. Maaf aku gak bisa ikut. Sampaikan salamku ke Tia.”
Aku beranjak dari bangku, namun Jo tetap menghalangiku untuk melangkah. Ia menggenggam lenganku erat. “Tapi bukannya kemarin lo bilang kalo hari ini lo lagi kosong?”
Aku mengigit bibirku. Dia ini benar-benar keras kepala. “Maaf, ini mendadak.”
“Segitu pentingkah?”
Entah mengapa aku merasa suaranya menjadi merendah. Aku terdiam. Ada apa ini? Ada apa denganku? Kenapa aku jadi egois seperti ini? Kenapa aku jadi ingin memonopoli Jo dari Tia?
“Maaf Jo, Bundaku lebih penting dari apapun.” Jawabku tanpa menatap Jo.
“Kenapa kau tak mau menatapku?”
Apa?
“Apa perlu alasannya? Aku kira…tidak.”
Aku dapat merasakan genggaman Jo yang merenggang dan terlepas. Aku melangkah pergi meninggalkan kelas.
Maaf Jo, aku udah berbohong. Mungkin aku ini…cemburu.
<3
Aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke sebuah taman rahasia. Sebenarnya tidak rahasia, hanya saja taman ini sangat jarang dikunjungi oleh orang. Aku mengambil tempat duduk di bawah pohon paling besar di taman itu. Ditempat inilah, aku biasa meluapkan isi hatiku. Di tempat inilah, aku teringat akan sebuah kenangan singkat yang tak mungkin untuk kulupakan.
Suatu saat nanti aku berjanji akan kembali kesini.
Aku tersenyum pilu mengingat janji itu. Kukeluarkan sebuah kotak dari dalam ranselku dan mengeluarkan sebuah benda dari dalamnya.
Peganglah harmonika ini. Suatu saat nanti aku akan memainkannya lagi. Aku percaya aku akan bertemu kamu lagi. Di tempat ini, datang ya!
“Apakah kamu tahu, aku selalu datang kesini. Sepuluh tahun aku menunggu kedatangmu. Aku tak tahu, apakah kamu benar-benar akan datang atau kau tak akan lagi kesini. Sering kali aku merasa, bersamamu hanyalah sebuah mimpi. Bodohnya, aku gak tahu namamu, aku gak tanya sih. Dan juga, aku hampir lupa dengan wajahmu. Bahkan senyumanmu. Dan aku juga pernah berpikir…apakah kamu sudah lupa denganku?”
Aku menatap harmonika yang terus ku genggam.
“Seperti biasa, aku ingin bercerita. Apa kamu tahu? Di sekolah, aku bertemu dengan seseorang yang membuatku kagum. Dimataku, dia adalah cowok yng sempurna. Lebih sempurna dari kamu mungkin?”
Aku tertawa pelan, dan melanjutkan, “Apa kamu tahu? Perbedaan suka, sayang, dan cinta? “Layaknya seseorang mendaki gunung es sendirian untuk meraih sebuah bendera disana, Itu adalah tingkatan perasaan, semakin tinggi kau menjangkaunya, semakin berat pula berbagai halangan dan rintangan yang kau hadapi. Butuh waktu lama jika kamu ingin melupakannya. Apalagi ketika kau berada di tengah-tengah, dimana perasaan yang sebenarnya mulai tumbuh dan kau ingin kembali ke dasar karena sebuah rintangan yang kau benar-benar tak sanggup untuk melewatinya. Sepeti kau mencapai pertengahan puncak gunung dan kau merasa, ingin kembali ke lembah karena kau takut jika sebelum mencapi puncak, kau akan membeku, kau akan melihat kekosongan disana. Kau pati akan merasa dingin dan lelah, bahkan pada akhirnya merasa gagal. Semua perasaan itu adalah rasa sakit yang kau rasa. Dan ditengah-tengah itu pula, mungkin keraguan akan timbul. Apakah kamu akan terus ke atas, terus bertahan menuju puncak. Kau bisa tersenyum bahagia ketika mendapatkan bendera itu. Namun apa yang terjadi padamu jika kau melihat kehampaan di puncak itu? Sakit bukan?”
Aku diam sejenak. “Ah, mugkin kau tak mengerti dengan apa yang kukatakan. Cowok yang kuceritakan ini bisa membuatku berhenti memikirkanmu lagi? Dia sangat mirip dengan seseorang. Tapi siapa dan dimana, aku gaktau. Aku hanya sekedar suka dengannya. Banyak angan-angan konyol, seperti aku ingin sekelas dengannya, aku ingin bisa bicara dengannya. Dan aku benar-benar tidak percaya jika hal itu benar-benar terjadi sekarang. Aku selalu menganggap aku hanya sekedar suka padanya. Jujur aku tidak suka jika dia lebih akrab dengan Tia. Tapi, aku tidak ingin memonopoli dia. Aku bukan cewek seperti itu. Lama-kelamaan aku semakin tidak suka. Mereka berdua seakan-akan lupa denganku. Seakan-akan banyak hal yang mereka sembunyikan dariku. Yang kupikirkan mungkin hubungan mereka lebih dari sahabat dan aku tidak tahu akan hal itu. Dan aku memang bodoh. Aku sadar jika diam-diam aku sudah jatuh pada dia. Dan aku…cemburu. Jika kamu tahu akan apa yang aku ceritakan, kamu pasti gamau menemuiku lagi karena aku udah menyukai orang lain. Andai saja jika cowok yang kumaksud itu adalah satu orang…yaitu kamu. Wah, pasti itu terasa lebih sakit ya?”
Aku benar-benar membayangkan jika kau, anak laki-laki tanpa nama, adalah Jo. Disaat itu juga aku menangis. Rasanya benar-benar sakit. Inikah cinta? Sesakit ini?
Aku melipat kedua kakiku dan memeluknya. Aku tenggelam dalam tangisku. Ah, sial…
<3
Aku terbangun ketika mendengar ponselku berbunyi. Agak malas aku mengambil ponsel dari tasku. “Halo?”
“Lo dimana? Bunda lo telepon gue kalo lo belum pulang.”
Suara Tia yang khas memekakan telinga. “Oi, bisa gak lo kecilin suara lo itu? Gue gak budek.” Omelku.
“Biarin. Emang lo dimana?”
“Di taman. Emang sekarang jam berapa?”
“Jam enam neeng. Lo ditaman? Ngapain? Bukannya lo sedang ada acara sama Bunda lo? Tapi ini ada yang aneh. Lo…bohong ya?”
Aku berpikir keras. “Buat apa gue bohong? Tadinya aku memang ikut, tapi sampai dirumah Bunda bilang batal. Ya gue ngambek. Gue ke taman. Cuma lo kan yang tahu kalo gue sukanya pergi ke taman kalo lagi bete.” Waduhduhduh, sejak kapan aku jadi mahir berbohong kayak gini?
“Oh begitu. Ya udah, cepetan pulang sana. Bunda lo khawatir tuh sama lo.”
“Iya…aku segera pulang. Bye.”
Aku meletakkan kembali ponselku dan bergegas pulang. Hingga aku menyadari, sebuah jaket menyelimuti sebagian diriku. Kedua alisku terangkat dan aku bergumam, “Milik siapa ini?”
Aku melihat sekitar, Tak ada siapapun disana. Aku menatap jaket hitam itu dan kedua mataku melebar.
Apakah dia…datang kesini?
Dia, panggil saja dia Jo. Aku memang tidak pernah mengenalnya, tapi pertama kali aku melihatnya (secara tidak sengaja di kantin) kedua mataku tak pernah berhenti untuk tidak melihatnya. Meskipun tidak sekelas, aku sering melihatnya dari jauh. Diam-diam aku juga mencari informasi sendiri(tapi benar-benar tidak sendiri, dapet bantuan juga dari sohibku, Tia yang emang sau ekskul sama dia dan beberapa orang yang aku kenal). Sebenarnya aku tidak ahli dalam hal itu. Jujur, aku ini agak-agak pendiam dan cewk yang tak banyak bicara. Berbandik terbalik dengan Jo. Dia tampan(buktinya dia banyak yang naksir), pintar(dia ketua OSIS, tapi mau pensiun), rajin ibadah, ceria, friendly, murah senyum(aku pernah dapet lemparan senyumnya dan rasanya jadi melting point), dan masih banyak. Dimataku dia sempurna. Tapi diantara segala yang aku jabarkan itu ada yang ganjal. Aku merasa pernah bertemu dia di suatu tempat. Tapi dimana? Aku lupa, atau itu cuma halusinasiku saja?
Tapi…
“Cieeeh, sekarang sekelas nih ceritanya?”
Kedua mataku melebar ketika mendengar suara Tia yang super ‘tinggi’ itu menggema di dalam kelas. “Apa kamu gabisa ngecilin suaramu itu? Malu tau!”
Tia langsung ngeloyor duduk di bangku sebelahku yang emang kosong. “Buat apa malu? Ni kelas sepi kok. Pada istirahat semua. Termasuk si Jo...” (unuk kalimat yang terakhir Tia benar-benar memperkecil suaranya)
Aku mengeluarkan bekalku dari dalam tas. “Ngapain kamu ke kelasku?” Tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari kotak bekal.
“Jahat lo ya, mentang-mentang kita gak sekelas, trus lo sekelas sama sang doi, lo mau buang gue? Sakit ati gue.” Jawab Tia sambil meletakkan kedua tangannya di depan dada. Ih, gak banget deh. -___-
“Aku gak bakal buang kamu kok. Lagipula, aku hanya ‘ngefans’ sama Jo, gak lebih.”
“Ketahuan bohoooongnyaaa tuuh. Ra, mana mugkin orang ngefans itu sampe nyari informasi sedetail ituuu, termasuk sahabatnya sendiri dipaksa, hehe…”
“Jadi ceritanya selama ini kamu gak ikhlas? Hmm…banyak kan contoh orang ngefans sampai nyari informasi kayak gitu.”
Tia menggeleng, “Gue hafal lo Ra. Lo sohib gue sejak SMP. Lagipula, daridulu kan lo selalu ceria tentang anak kecil masa lalu lo yang gakbisa lo lupain itu. Apa tuh namanya… cinta monyet…”
“Apaan sih Ti?” Potongku. “Udah aku bilangin kan aku gak ad rasa sama Jo. Cuma sekedar…”
“Sekedar apa niih?”
Aku dan Tia memalingkan muka bersamaan menuju ke sumber suara barusan. Kedua mataku benar-benar melebar ketika aku melihat Jo sudah ada di daun pintu dengan senyuman lebar membuatku ingin menjambak rambutku sendiri*alay sepertinya.
Ia mendekat, memutar kursi yang berada di depan bangkuku, tepat di hadapanku. “Lagi ngobrol apaan nih? Ngegosip nih….Dosa loh.”
“Siapa juga yang ngegosip.” Jawab Tia, “Kami gak ngegosip.”
“Terus?”
“Ya gapapa sih. Cuma gue kangen sama Sera. Gakboleh?”
“Hmm…ya gapapa sih. Tapi, emang ada cewek sok kenal yang langsung bicara seenaknya sama pangeran yang tampan ini?”
Dasar kepedean. “Emang kamu cakep?” Tanyaku. Iseng dikit gapapalah, daripada ntar Jo curiga aku banyak diem dan gak ngoceh sama sekali kan?
“Lo? Kamu gatau Ra? Banyak loh yang naksir sama aku.”
Aku melongo, “Oh ya? Siapa? Jangan-jangan orang-orang transgender yang suka sama lo??” Tanyaku.
“Ya gaklah. Gue kan masih normal.” Jawabnya sambil nyengir.
“Lo Jo kan? Gue tahu tentang ketenaran lo. Termasuk cewek yang…” Tia melirikku “…naksir sama lo.”
Aku menginjak kaki Tia. “Aw.”
“Ada apa?”
“Gapapa. Gue Cuma ngerasa ada yang nginjek kaki gue tadi.”
Kedua mataku melebar. Ni anak benar-benar menyebalkan. “Tapi aku gak merasa nginjek kakimu. Apa cuma perasaanmu saja?”
“Hmm…mungkin saja.”
Jo mengulurkan sebelah tangannya. “Dari tadi gue pengen tahu nama lo?”
Tia bergeming. “Hah? Gue?” Tia menerima uluran tangan Jo, “Panggil aja gue Tia.”
Sekilas aku melihat mereka berdua. Kenapa aku merasa ada yang aneh dari Jo? Dan….
Kenapa aku merasa sakit?
<3
Aku sedang berjalan menuju perpustakaan sekolah sendiri. Awalnya pengen ngajak Tia. Tapi tuh anak langsung ngilang entah kemana.
Aku gak menghitung sudah berapa lama aku udah sekelas dengan Jo. Tapi, sejak sekelas dengan Jo perlahan aku bisa cepat akrab dengan dia. Dia sering nimbrung denganku dan Tia jika dia sedang tidak lagi sibuk. Semakin kami akrab, semakin aku merasa segalanya bersama Jo adalah hal yang biasa untukku. meskipun terkadang Tia suka menggodaku di depan Jo. Aku salting, tentu saja. Tapi Jo sepertinya tetap bersikap biasa saja. Dan malah terkesan menganggap segalanya itu adalah lelucon. Gatau lagi, kadang aku merasa ada yang berbeda dari sikap Tia dan Jo. Memang, kenyataannya Jo lebih dekat dengan Tia daripada aku. Kelihatan kok, Jo lebih sering menanggapi apa yang dikatakan Tia, banyolan Tia, dan apa ang menyangkut Tia.
Tunggu dulu, aku cemburu? Tidak.
Aku memukul-mukul kepalaku sendiri. Mana mungkin aku cemburu Untuk apa aku cemburu?
Aku tersenyum pada dirirku sendiri. Jo Cuma sahabat. Aku dan dia sekarang adalah sahabat. Perasaanku yang dulu terhadapnya hanya sekedar suka biasa. Gak pernah lebih dari itu.
Langkahku terhenti ketika aku melihat…Tunggu dulu? Apa aku Cuma berhalusinasi saja?
Bukan. Masalahnya apa yang ada di hadapanku adalah nyata.
Aku mundur beberapa langkah. Bersembunyi di dalam toilet. Diam untuk beberapa saat. Aku menggigit kuku ibu jariku.
Itu tadi…Jo dengan Tia kan?
<3
“Lo langsung pulang?”
Aku menatap Jo yang langsung duduk di sampingku. “Iya.” Jawabku.
Jo meletakkan telapak tangannya di dahiku. “Kamu sakit?”
Kedua mataku melebar, dengan cepat aku menurunkan tangan Jo dari dahiku, “Tidak. Aku baik-baik saja.” Bantahku.
“Tapi bukannya hari ini kita bertiga nonton bersama? Lo beneran gak mau ikut?”
Aku memutar otak, mencari-cari alasan, “Iya. Hari ini Bundaku mau ngajak aku ke suatu tempat. Maaf aku gak bisa ikut. Sampaikan salamku ke Tia.”
Aku beranjak dari bangku, namun Jo tetap menghalangiku untuk melangkah. Ia menggenggam lenganku erat. “Tapi bukannya kemarin lo bilang kalo hari ini lo lagi kosong?”
Aku mengigit bibirku. Dia ini benar-benar keras kepala. “Maaf, ini mendadak.”
“Segitu pentingkah?”
Entah mengapa aku merasa suaranya menjadi merendah. Aku terdiam. Ada apa ini? Ada apa denganku? Kenapa aku jadi egois seperti ini? Kenapa aku jadi ingin memonopoli Jo dari Tia?
“Maaf Jo, Bundaku lebih penting dari apapun.” Jawabku tanpa menatap Jo.
“Kenapa kau tak mau menatapku?”
Apa?
“Apa perlu alasannya? Aku kira…tidak.”
Aku dapat merasakan genggaman Jo yang merenggang dan terlepas. Aku melangkah pergi meninggalkan kelas.
Maaf Jo, aku udah berbohong. Mungkin aku ini…cemburu.
<3
Aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke sebuah taman rahasia. Sebenarnya tidak rahasia, hanya saja taman ini sangat jarang dikunjungi oleh orang. Aku mengambil tempat duduk di bawah pohon paling besar di taman itu. Ditempat inilah, aku biasa meluapkan isi hatiku. Di tempat inilah, aku teringat akan sebuah kenangan singkat yang tak mungkin untuk kulupakan.
Suatu saat nanti aku berjanji akan kembali kesini.
Aku tersenyum pilu mengingat janji itu. Kukeluarkan sebuah kotak dari dalam ranselku dan mengeluarkan sebuah benda dari dalamnya.
Peganglah harmonika ini. Suatu saat nanti aku akan memainkannya lagi. Aku percaya aku akan bertemu kamu lagi. Di tempat ini, datang ya!
“Apakah kamu tahu, aku selalu datang kesini. Sepuluh tahun aku menunggu kedatangmu. Aku tak tahu, apakah kamu benar-benar akan datang atau kau tak akan lagi kesini. Sering kali aku merasa, bersamamu hanyalah sebuah mimpi. Bodohnya, aku gak tahu namamu, aku gak tanya sih. Dan juga, aku hampir lupa dengan wajahmu. Bahkan senyumanmu. Dan aku juga pernah berpikir…apakah kamu sudah lupa denganku?”
Aku menatap harmonika yang terus ku genggam.
“Seperti biasa, aku ingin bercerita. Apa kamu tahu? Di sekolah, aku bertemu dengan seseorang yang membuatku kagum. Dimataku, dia adalah cowok yng sempurna. Lebih sempurna dari kamu mungkin?”
Aku tertawa pelan, dan melanjutkan, “Apa kamu tahu? Perbedaan suka, sayang, dan cinta? “Layaknya seseorang mendaki gunung es sendirian untuk meraih sebuah bendera disana, Itu adalah tingkatan perasaan, semakin tinggi kau menjangkaunya, semakin berat pula berbagai halangan dan rintangan yang kau hadapi. Butuh waktu lama jika kamu ingin melupakannya. Apalagi ketika kau berada di tengah-tengah, dimana perasaan yang sebenarnya mulai tumbuh dan kau ingin kembali ke dasar karena sebuah rintangan yang kau benar-benar tak sanggup untuk melewatinya. Sepeti kau mencapai pertengahan puncak gunung dan kau merasa, ingin kembali ke lembah karena kau takut jika sebelum mencapi puncak, kau akan membeku, kau akan melihat kekosongan disana. Kau pati akan merasa dingin dan lelah, bahkan pada akhirnya merasa gagal. Semua perasaan itu adalah rasa sakit yang kau rasa. Dan ditengah-tengah itu pula, mungkin keraguan akan timbul. Apakah kamu akan terus ke atas, terus bertahan menuju puncak. Kau bisa tersenyum bahagia ketika mendapatkan bendera itu. Namun apa yang terjadi padamu jika kau melihat kehampaan di puncak itu? Sakit bukan?”
Aku diam sejenak. “Ah, mugkin kau tak mengerti dengan apa yang kukatakan. Cowok yang kuceritakan ini bisa membuatku berhenti memikirkanmu lagi? Dia sangat mirip dengan seseorang. Tapi siapa dan dimana, aku gaktau. Aku hanya sekedar suka dengannya. Banyak angan-angan konyol, seperti aku ingin sekelas dengannya, aku ingin bisa bicara dengannya. Dan aku benar-benar tidak percaya jika hal itu benar-benar terjadi sekarang. Aku selalu menganggap aku hanya sekedar suka padanya. Jujur aku tidak suka jika dia lebih akrab dengan Tia. Tapi, aku tidak ingin memonopoli dia. Aku bukan cewek seperti itu. Lama-kelamaan aku semakin tidak suka. Mereka berdua seakan-akan lupa denganku. Seakan-akan banyak hal yang mereka sembunyikan dariku. Yang kupikirkan mungkin hubungan mereka lebih dari sahabat dan aku tidak tahu akan hal itu. Dan aku memang bodoh. Aku sadar jika diam-diam aku sudah jatuh pada dia. Dan aku…cemburu. Jika kamu tahu akan apa yang aku ceritakan, kamu pasti gamau menemuiku lagi karena aku udah menyukai orang lain. Andai saja jika cowok yang kumaksud itu adalah satu orang…yaitu kamu. Wah, pasti itu terasa lebih sakit ya?”
Aku benar-benar membayangkan jika kau, anak laki-laki tanpa nama, adalah Jo. Disaat itu juga aku menangis. Rasanya benar-benar sakit. Inikah cinta? Sesakit ini?
Aku melipat kedua kakiku dan memeluknya. Aku tenggelam dalam tangisku. Ah, sial…
<3
Aku terbangun ketika mendengar ponselku berbunyi. Agak malas aku mengambil ponsel dari tasku. “Halo?”
“Lo dimana? Bunda lo telepon gue kalo lo belum pulang.”
Suara Tia yang khas memekakan telinga. “Oi, bisa gak lo kecilin suara lo itu? Gue gak budek.” Omelku.
“Biarin. Emang lo dimana?”
“Di taman. Emang sekarang jam berapa?”
“Jam enam neeng. Lo ditaman? Ngapain? Bukannya lo sedang ada acara sama Bunda lo? Tapi ini ada yang aneh. Lo…bohong ya?”
Aku berpikir keras. “Buat apa gue bohong? Tadinya aku memang ikut, tapi sampai dirumah Bunda bilang batal. Ya gue ngambek. Gue ke taman. Cuma lo kan yang tahu kalo gue sukanya pergi ke taman kalo lagi bete.” Waduhduhduh, sejak kapan aku jadi mahir berbohong kayak gini?
“Oh begitu. Ya udah, cepetan pulang sana. Bunda lo khawatir tuh sama lo.”
“Iya…aku segera pulang. Bye.”
Aku meletakkan kembali ponselku dan bergegas pulang. Hingga aku menyadari, sebuah jaket menyelimuti sebagian diriku. Kedua alisku terangkat dan aku bergumam, “Milik siapa ini?”
Aku melihat sekitar, Tak ada siapapun disana. Aku menatap jaket hitam itu dan kedua mataku melebar.
Apakah dia…datang kesini?
<3
Aku menjalani hari-hariku seperti biasa, meskipun aku sedikit menjaga jarak dengan Tia dan Jo. Aku sering pulang lebih awal, dengan beribu-ribu alasan aku katakan pada mereka agar aku dapat menghindari mereka. Aku tidak tahu, sampai kapan aku harus bersikap kekanakan seperti ini. Namun aku rasa, ini adalah jalan yang terbaik. Aku akui, aku cemburu, aku tidak suka pada kedekatan mereka, namun mana mungkin aku mengatakan hal konyol ini pada mereka?
Aku sering pergi ke taman, dimana aku dapat meluapkan isi hatiku. Sering aku menangis disana. Segalanya yang berada disekitarku hanyalah sebuah saksi mati yang satu-satunya tahu, apa yang aku rasakan saat ini.
Hingga pada suatu hari…
Aku melirik jam tanganku. Kemudian kedua mataku beralih menatap langit hitam kelabu. Satu jam lebih telah berlalu hujan deras tak kunjung henti dan ruang kelas sudah sepi, tak ada sesosok manusia, kecuali aku. Sebelah tanganku kupakai memainkan harmonika, sedangkan tangan yang lain aku pakai untuk mencorat-coret buku kimiaku bagian belakang.
Aku tidak mengerti apa itu suka, atau yang berhubungan dengan itu
Aku pernah menyukai seseorang, seseorang dimasa lalu
Ia hanya anak kecil yang kutemui sepuluh tahun yang lalu
Dan saat ini dimana keberadaanya, aku tidak tahu
Aku memandang jaket hitam yang menyelimutiku di taman beberapa hari yang lalu. Aku tersenyum tipis dan menulis kembali
Kehadirannya bagaikan bayangan hitam di tengah malam
Mengapa ia tidak menampakkan dirinya? Aku tak tahu
Dan sekarang, aku bertemu dengan seseorang
Jo, nama yang singkat dan mudah diingat.
Yang sejak awal ia membuatku selalu ingin memandang dirinya
Senyumnya, Sikapnya, kebaikannya, Aku menyukainya.
Aku anggap itu hanya rasa suka biasa
Sama seperti rasa sukaku pada anak kecil itu
Namun
Sekarang ia sangat dekat dengan sahabatku sendiri
Awalnya aku hanya merasa bisa saja
Tetapi
Semakin lama aku semkin berfikir dan menyimpulkan
Ia suka dengan sahabatku, dan begitu pula sebaliknya
Aku merasa tidak suka akan hal itu, aku ingin memonopoli dia
Tetapi aku tidak bisa, ah mungkin aku tidak mau melakukannya
Itu hanya tidakan bodoh.
Aku tidak ingin melukai sahabatku, jadi biarlah mereka bersama
Aku lebih memilih menghindari mereka, melangkah mundur, menjauh
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang lebar, melihat dia dari belakang
Dia akan bahagia dengan sahabatku, bisa saja kan?
Dan aku menyadari
Aku jatuh cinta, dan aku cemburu
Sejak kamu, anak kecil itu, datang dan langsung menghilang tanpa aku tahu
Aku berharap kau akan datang kembali
Bukan sebagai bayangan
Namun sebagai sosok yang benar-benar datang, berdiri di hadapanku
Aku ingin melihatmu, aku berharap dapat bertemu denganmu.
Kuinin kau merasakan dukaku, mendengar cerita-ceritaku
Kamu yang mungkin dapat mengobati lukaku saat ini
Aku yang sedang menghadapi sebuah kenyataan yang sama sekali tidak kuinginkan kehadirannya
Mungkin aku benar-benar bunga dandelion.
Dandellion yang tumbuhditengah padang rumput luas tak berujung…
Tenang…
Namun sunyi dan sepi…
Tanpa aku sadari. Airmata yang tak kuharapkan kedatangannya turun membasahi pipiku. Aku menunduk. Keduatanganku menggenggam erat harmonika ini. Bersama hujan, aku menangis.
“Sera?”
Refleks aku mndongak, melihat Jo berdiri di depan pintu kelas. Ia menatapku. “Kau kenapa?”
Ia melangkah mendekat. Kumohon jangan mendekatiku, kumohon jangan menatapku saat ini, kumohon jangan melihatku menangis…
“Jangan mendekat!”
Aku berdiri, dengan tetap menunduk dan melangkah pergi, sebelum keluar kelas aku berkata, “Sori, ku harap kau melupakan apa yang kau lihat tenangku hari ini. Anggap saja hari ini…”
Ucapanku terpotong ketika Jo berdiri di belakangku, menarikku ke dalam pelukannya “Mengapa kau menghindariku?”
Aku bergerak keras. “Lepasin aku!”
Pelukannya semakin erat, “Aku tidak akan melepasmu sebelum kau mengatakan yang sejujurnya padaku!”
Nada suaranya meninggi. Dia marah.
“Aku…Aku…” Tidak, aku tidak akan mengatakannya. “Aku benci dengan cowok sepertimu.” Jawabku akhirnya.
Hening. Perlahan ia melepas pelukannya, menggenggam kedua bahuku dan menatapku tajam, “Mengapa?”
Aku menunduk, “Perlukah alasan?”
Aku melangakah mundur dan berlari pergi. Maafkan aku..maafkan aku…
<3
Langkahku terhenti sampai ditaman. Aku memegang dadaku sebelah tanganku, mengatur nafasku yang tersengal-sengal. Aku mendongak. Hujan telah berhenti. Pikiranku masih tterbayang pada kejadian tadi. Aku mengatakan sebuah kebohongan, biarlah. Aku mampu melupakannya dan besok aku bisa menjadi diriku yang seperti biasa. Iya, aku mampu melakukannya…
Tunggu, aku merasa barang-barangku ketinggalan seperti…
Aku menepuk dahiku. Buku kimia…jaketnya…harmoniknya…ketinggalan!!! O.O
“Apa ini yang kau cari?”
Aku menoleh kebelakang. Jo berdiri di belakangku, dengan tangan membawa jaket yang tertinggal di kelas. “Aku membacanya.”
Aku menhembuskan nafas, “Itu kesalahan.”
“Kau diak dapat mengelak lagi.” Ia tersenyum tipis, “Dan mungkin ini sudah waktunya aku mengatakan yang sebenarnya.”
“Apa maksudmu?”
“Aku dan Tia sudah merencanakan hal ini sejak awal.”
Aku mengangkat kedua alisku,”Aku tidak meng serti apa yang kamu katakan.”
“Aku sudah mengenal Tia sejak lama, sejak kelas satu. Kebetulan aku dan dia satu satu ekstra dan dia menceritakan tentangmu padaku, termasuk masa kecilmu. Hingga akhirnya aku dan dia berencana lebih dekat supaya aku ya mungkin bisa membuatmu cemburu. Ternyata itu berhasil bukan? Meskipun aku tidak menyangka pada akhirnya kau akan merasa sakit seperti saat ini. Maafkan aku.”
Bibirku bergetar, “Mengapa…mengap kau melakukan semua ini?”
“Karena sejak awal melihatmu…aku menyukaimu.”
“Sejak kapan?”
“Sejak…” Ia memperlihatkan harmonika milikku yang diambilnya dari dalam ransel, “Sejak aku menitipkan benda ini…sepuluh tahun tahun yang lalu padamu. Tentu kau masih ingat itu bukan?”
Suatu saat nanti aku berjanji akan kembali kesini.
Kedua mataku melebar, “Kamu...anak itu?”
Ia tersenyum mengangguk. Pantas saja…pantas saja selama ini aku merasa pernah melihat Jo di suatu tempat. Satu hal yang tak pernah kulupa senyumannya dan anak laki-laki itu sama.
Aku berjalan mendekatinya, memegang kerah bajunya, “Mengapa? Mengapa kamu tega mempermainkan aku? Mengapa kamu tega….”
Ia memelukku erat. “Maaf. Maaf. Maafkan aku. Aku kembali. Maaf sudah membuatmu menungu lama.”
Ia melepas pelukannya. Memakaikan jaket yang dipakainya kepadaku, “Dan ini …waktu itu kamu juga yang menyelimutiku?”
“Ya, aku mengikutimu, sekaligus aku juga ingin memastikan apakah kamu benar-benar anak perempuan itu."
Aku tersenyum. Saat ini aku benar-benar berada di puncak dengan membawa bendera kemenangan, “Selamat datang kembali. Dan terimakasih.”
<3
Aku dan Jo berjalan pelan menyusuri jalan pulang. Malam yang akan menjelang membuat lampu-lampu ditepi jalan menyala satu persatu.
Jo memainkan harmonika miliknya. Aku mendengarkan permainannya sambil menatap langit yang bewarna jingga dengan hiasan warna ungu, bertanda hari sudah mulai gelap. Aluan nada itu…membuatku teringat peristiwa sepuluh tahun yang lalu.
Aku mengalihkan pandanganku kepada Jo, “Ngomong-ngomong, gak apa nih kamu nganter aku pulang?” Tanyaku, membuatnya menghentikan permainan harmonikanya.
“Gak masalah sih. Aku gak akan lega kalau kamu pulang sendirian dengan keadaan kacau seperti sekarang?”
“Oh ya? Emang yang bikin aku kayak gini siapa?”
“Iya iya, aku minta maaf.”
Aku tersenyum, mengacak-acak rambut Jo yang tebal, “Hahaha. Kayaknya lagunya Raditnya Dika itu bener deh.”
“Emang Radinya Dika punya lagu?”
Aku menatap Jo sinis, “Kagak tau? Yang tuloh ‘sejak dulu wanita dijajah pria..wanita dijajah pria sejak dulu..sejak dulu wanita dijajah pria…bener kan?”
“Tidak tuh. Seharunya lagunya kebalik. ‘Sejak dulu pria dijajah wanita…pria dijajah wanita sejak dulu..”
“Suaramu aneh. Kayak ayam tercekik.?”
“Biar aneh tetep suka kan?”
Aku cuek, “Pede amat. Lagian kenapa lagunya harus kebalik?”
“Ahahaha, karena kamu telah menjajah hatiku.”
“Ih, dasar gombal.”
Aku mempercepat langkahku, pergi meninggalkannya. Ia meraih telapak tanganku dan menggenggam tanganku sambil bersiul gak jelas. “Cowok aneh.” Gumamku. Aku membiarkan ia menggenggamku. Sesekali aku meliriknya dan tertawa dalam hati.
“Apa kamu tahu? Bunga dandelion yang sudah dewasa akan terbang dan itu bukan berarti ia tidak akan bisa tumbuh lagi.”
Ia melihatku sambil tersenyum, “Meskipun bunga yang lama idak utuh, namun bunga putih dati dandelion yang beterbangan akan tumbuh kembali menjadi bunga yang baru, bukankah itu indah?”
Aku mendengarkan perkataannya, terdiam, dan membalas senyumannya, “Aku rasa…itu benar.”
Sekarang aku tahu
Dandelion yang beterbangan memang indah
Tetapi akan lebih indah ketika ia terbang mencari tempat untuk tumbuh
Meskipun sulit tetapi ia pasti akan bertemu dengan tempat itu
Perlahan tanganku yang terlipat dari dadaku
Bergerak turun
Aku mendongak ke langit dan tersenyum
Aku tidak menyadari
Dandelion memang rapuh
Tetapi…
Didalam dandelion yang rapuh itu
Ia memiliki dandelion-dandelion kecil didalamnya
Putih dan halus
Dan Ia, atau mereka akan tumbuh kembali
Menjadi Dandelion baru yan lebih indah
Aku yakin akan hal itu
<3 The end-
Aku menjalani hari-hariku seperti biasa, meskipun aku sedikit menjaga jarak dengan Tia dan Jo. Aku sering pulang lebih awal, dengan beribu-ribu alasan aku katakan pada mereka agar aku dapat menghindari mereka. Aku tidak tahu, sampai kapan aku harus bersikap kekanakan seperti ini. Namun aku rasa, ini adalah jalan yang terbaik. Aku akui, aku cemburu, aku tidak suka pada kedekatan mereka, namun mana mungkin aku mengatakan hal konyol ini pada mereka?
Aku sering pergi ke taman, dimana aku dapat meluapkan isi hatiku. Sering aku menangis disana. Segalanya yang berada disekitarku hanyalah sebuah saksi mati yang satu-satunya tahu, apa yang aku rasakan saat ini.
Hingga pada suatu hari…
Aku melirik jam tanganku. Kemudian kedua mataku beralih menatap langit hitam kelabu. Satu jam lebih telah berlalu hujan deras tak kunjung henti dan ruang kelas sudah sepi, tak ada sesosok manusia, kecuali aku. Sebelah tanganku kupakai memainkan harmonika, sedangkan tangan yang lain aku pakai untuk mencorat-coret buku kimiaku bagian belakang.
Aku tidak mengerti apa itu suka, atau yang berhubungan dengan itu
Aku pernah menyukai seseorang, seseorang dimasa lalu
Ia hanya anak kecil yang kutemui sepuluh tahun yang lalu
Dan saat ini dimana keberadaanya, aku tidak tahu
Aku memandang jaket hitam yang menyelimutiku di taman beberapa hari yang lalu. Aku tersenyum tipis dan menulis kembali
Kehadirannya bagaikan bayangan hitam di tengah malam
Mengapa ia tidak menampakkan dirinya? Aku tak tahu
Dan sekarang, aku bertemu dengan seseorang
Jo, nama yang singkat dan mudah diingat.
Yang sejak awal ia membuatku selalu ingin memandang dirinya
Senyumnya, Sikapnya, kebaikannya, Aku menyukainya.
Aku anggap itu hanya rasa suka biasa
Sama seperti rasa sukaku pada anak kecil itu
Namun
Sekarang ia sangat dekat dengan sahabatku sendiri
Awalnya aku hanya merasa bisa saja
Tetapi
Semakin lama aku semkin berfikir dan menyimpulkan
Ia suka dengan sahabatku, dan begitu pula sebaliknya
Aku merasa tidak suka akan hal itu, aku ingin memonopoli dia
Tetapi aku tidak bisa, ah mungkin aku tidak mau melakukannya
Itu hanya tidakan bodoh.
Aku tidak ingin melukai sahabatku, jadi biarlah mereka bersama
Aku lebih memilih menghindari mereka, melangkah mundur, menjauh
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang lebar, melihat dia dari belakang
Dia akan bahagia dengan sahabatku, bisa saja kan?
Dan aku menyadari
Aku jatuh cinta, dan aku cemburu
Sejak kamu, anak kecil itu, datang dan langsung menghilang tanpa aku tahu
Aku berharap kau akan datang kembali
Bukan sebagai bayangan
Namun sebagai sosok yang benar-benar datang, berdiri di hadapanku
Aku ingin melihatmu, aku berharap dapat bertemu denganmu.
Kuinin kau merasakan dukaku, mendengar cerita-ceritaku
Kamu yang mungkin dapat mengobati lukaku saat ini
Aku yang sedang menghadapi sebuah kenyataan yang sama sekali tidak kuinginkan kehadirannya
Mungkin aku benar-benar bunga dandelion.
Dandellion yang tumbuhditengah padang rumput luas tak berujung…
Tenang…
Namun sunyi dan sepi…
Tanpa aku sadari. Airmata yang tak kuharapkan kedatangannya turun membasahi pipiku. Aku menunduk. Keduatanganku menggenggam erat harmonika ini. Bersama hujan, aku menangis.
“Sera?”
Refleks aku mndongak, melihat Jo berdiri di depan pintu kelas. Ia menatapku. “Kau kenapa?”
Ia melangkah mendekat. Kumohon jangan mendekatiku, kumohon jangan menatapku saat ini, kumohon jangan melihatku menangis…
“Jangan mendekat!”
Aku berdiri, dengan tetap menunduk dan melangkah pergi, sebelum keluar kelas aku berkata, “Sori, ku harap kau melupakan apa yang kau lihat tenangku hari ini. Anggap saja hari ini…”
Ucapanku terpotong ketika Jo berdiri di belakangku, menarikku ke dalam pelukannya “Mengapa kau menghindariku?”
Aku bergerak keras. “Lepasin aku!”
Pelukannya semakin erat, “Aku tidak akan melepasmu sebelum kau mengatakan yang sejujurnya padaku!”
Nada suaranya meninggi. Dia marah.
“Aku…Aku…” Tidak, aku tidak akan mengatakannya. “Aku benci dengan cowok sepertimu.” Jawabku akhirnya.
Hening. Perlahan ia melepas pelukannya, menggenggam kedua bahuku dan menatapku tajam, “Mengapa?”
Aku menunduk, “Perlukah alasan?”
Aku melangakah mundur dan berlari pergi. Maafkan aku..maafkan aku…
<3
Langkahku terhenti sampai ditaman. Aku memegang dadaku sebelah tanganku, mengatur nafasku yang tersengal-sengal. Aku mendongak. Hujan telah berhenti. Pikiranku masih tterbayang pada kejadian tadi. Aku mengatakan sebuah kebohongan, biarlah. Aku mampu melupakannya dan besok aku bisa menjadi diriku yang seperti biasa. Iya, aku mampu melakukannya…
Tunggu, aku merasa barang-barangku ketinggalan seperti…
Aku menepuk dahiku. Buku kimia…jaketnya…harmoniknya…ketinggalan!!! O.O
“Apa ini yang kau cari?”
Aku menoleh kebelakang. Jo berdiri di belakangku, dengan tangan membawa jaket yang tertinggal di kelas. “Aku membacanya.”
Aku menhembuskan nafas, “Itu kesalahan.”
“Kau diak dapat mengelak lagi.” Ia tersenyum tipis, “Dan mungkin ini sudah waktunya aku mengatakan yang sebenarnya.”
“Apa maksudmu?”
“Aku dan Tia sudah merencanakan hal ini sejak awal.”
Aku mengangkat kedua alisku,”Aku tidak meng serti apa yang kamu katakan.”
“Aku sudah mengenal Tia sejak lama, sejak kelas satu. Kebetulan aku dan dia satu satu ekstra dan dia menceritakan tentangmu padaku, termasuk masa kecilmu. Hingga akhirnya aku dan dia berencana lebih dekat supaya aku ya mungkin bisa membuatmu cemburu. Ternyata itu berhasil bukan? Meskipun aku tidak menyangka pada akhirnya kau akan merasa sakit seperti saat ini. Maafkan aku.”
Bibirku bergetar, “Mengapa…mengap kau melakukan semua ini?”
“Karena sejak awal melihatmu…aku menyukaimu.”
“Sejak kapan?”
“Sejak…” Ia memperlihatkan harmonika milikku yang diambilnya dari dalam ransel, “Sejak aku menitipkan benda ini…sepuluh tahun tahun yang lalu padamu. Tentu kau masih ingat itu bukan?”
Suatu saat nanti aku berjanji akan kembali kesini.
Kedua mataku melebar, “Kamu...anak itu?”
Ia tersenyum mengangguk. Pantas saja…pantas saja selama ini aku merasa pernah melihat Jo di suatu tempat. Satu hal yang tak pernah kulupa senyumannya dan anak laki-laki itu sama.
Aku berjalan mendekatinya, memegang kerah bajunya, “Mengapa? Mengapa kamu tega mempermainkan aku? Mengapa kamu tega….”
Ia memelukku erat. “Maaf. Maaf. Maafkan aku. Aku kembali. Maaf sudah membuatmu menungu lama.”
Ia melepas pelukannya. Memakaikan jaket yang dipakainya kepadaku, “Dan ini …waktu itu kamu juga yang menyelimutiku?”
“Ya, aku mengikutimu, sekaligus aku juga ingin memastikan apakah kamu benar-benar anak perempuan itu."
Aku tersenyum. Saat ini aku benar-benar berada di puncak dengan membawa bendera kemenangan, “Selamat datang kembali. Dan terimakasih.”
<3
Aku dan Jo berjalan pelan menyusuri jalan pulang. Malam yang akan menjelang membuat lampu-lampu ditepi jalan menyala satu persatu.
Jo memainkan harmonika miliknya. Aku mendengarkan permainannya sambil menatap langit yang bewarna jingga dengan hiasan warna ungu, bertanda hari sudah mulai gelap. Aluan nada itu…membuatku teringat peristiwa sepuluh tahun yang lalu.
Aku mengalihkan pandanganku kepada Jo, “Ngomong-ngomong, gak apa nih kamu nganter aku pulang?” Tanyaku, membuatnya menghentikan permainan harmonikanya.
“Gak masalah sih. Aku gak akan lega kalau kamu pulang sendirian dengan keadaan kacau seperti sekarang?”
“Oh ya? Emang yang bikin aku kayak gini siapa?”
“Iya iya, aku minta maaf.”
Aku tersenyum, mengacak-acak rambut Jo yang tebal, “Hahaha. Kayaknya lagunya Raditnya Dika itu bener deh.”
“Emang Radinya Dika punya lagu?”
Aku menatap Jo sinis, “Kagak tau? Yang tuloh ‘sejak dulu wanita dijajah pria..wanita dijajah pria sejak dulu..sejak dulu wanita dijajah pria…bener kan?”
“Tidak tuh. Seharunya lagunya kebalik. ‘Sejak dulu pria dijajah wanita…pria dijajah wanita sejak dulu..”
“Suaramu aneh. Kayak ayam tercekik.?”
“Biar aneh tetep suka kan?”
Aku cuek, “Pede amat. Lagian kenapa lagunya harus kebalik?”
“Ahahaha, karena kamu telah menjajah hatiku.”
“Ih, dasar gombal.”
Aku mempercepat langkahku, pergi meninggalkannya. Ia meraih telapak tanganku dan menggenggam tanganku sambil bersiul gak jelas. “Cowok aneh.” Gumamku. Aku membiarkan ia menggenggamku. Sesekali aku meliriknya dan tertawa dalam hati.
“Apa kamu tahu? Bunga dandelion yang sudah dewasa akan terbang dan itu bukan berarti ia tidak akan bisa tumbuh lagi.”
Ia melihatku sambil tersenyum, “Meskipun bunga yang lama idak utuh, namun bunga putih dati dandelion yang beterbangan akan tumbuh kembali menjadi bunga yang baru, bukankah itu indah?”
Aku mendengarkan perkataannya, terdiam, dan membalas senyumannya, “Aku rasa…itu benar.”
Sekarang aku tahu
Dandelion yang beterbangan memang indah
Tetapi akan lebih indah ketika ia terbang mencari tempat untuk tumbuh
Meskipun sulit tetapi ia pasti akan bertemu dengan tempat itu
Perlahan tanganku yang terlipat dari dadaku
Bergerak turun
Aku mendongak ke langit dan tersenyum
Aku tidak menyadari
Dandelion memang rapuh
Tetapi…
Didalam dandelion yang rapuh itu
Ia memiliki dandelion-dandelion kecil didalamnya
Putih dan halus
Dan Ia, atau mereka akan tumbuh kembali
Menjadi Dandelion baru yan lebih indah
Aku yakin akan hal itu
<3 The end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar